Kamis, 17 Januari 2008

Wayan dari Seberang (Bag 5)

DAYU KENANGA

Namaku Dayu Kenanga, lengkapnya Ida Ayu Kenanga Wangi, seperti biasanya pagi-pagi aku bangun untuk mulai hariku. Hari ini aku tidak mebanten, tugas itu kuserahkan pada Ni Loka, pemambantu dirumah yang sudah ‘mengabdi’ di griya tempat tinggalku selama 30 tahun, jadi dia lebih lama tinggal dirumah ini ketimbang aku. Setelah cuci muka, aku menyisir rambutku yang panjangnya kalau diurai kedepan bisa menutupi buah dadaku, cukup panjang untuk ukuran gadis seusiaku di jaman pemansan global seperti sekarang ini. Tapi aku suka rambutku. Aku keluar dari kamarku dan berjalan ke ruang makan malalui kebun yang kata temanku seperti hotel bintang lima, ya memang rumahku cukup besar, luasnya sekitar 1000m2 dan seperti rumah khas bangsawan bali ‘griya’ terpisah-pisah dan penuh dengan ukiran yang berlapiskan prada emas, tapi aku sendiri tidak merasa bangga akan hal itu, Cuma kawanku yang selalu memuji ketika mereka main atau menginap dirumahku. Pembantu dirumahku ada 6 orang, masing-masing punya tugas sendiri-sendiri. Dan dulu aku punya satu yang tugasnya Cuma mengurusi diriku saja, tapi semenjak kelas satu SMA, aku perintahkan dia untuk tidak pernah lagi mengurusku kecuali aku minta. Ya, aku hidup seperti putrid raja, dan memang aku putrid seorang keturunan raja.

“Kamu bangun kesiangan Dayu?’ Tanya Ibuku

“Ya, aku harus tidar pagi untuk menyiapkan proposal ke Pemda dan pakaian untuk perjalanan ke Yogya hari ini”

“Berapa hari kamu rencana ke Yogya”

“Mungkin satu minggu, karena tiyang rencana sekalian belajar dari kelompok PKK disana yang katanya sukses di bidang jasa rias pengantin”

“Dayu, Aji sama sekali tidak keberatan kamu melakukan semua ini, Cuma kamu harus ingat, kamu adalah penerus tunggal keluarga kita, kapan kamu mau member jawaban tentang Gus Putra?” Tanya Aji Gus Raka.

“Aji, tiyang belum bisa jawab, ini masalah hati”

“Hati bisa mengikuti setelah ada kemauan Dayu”

“Di dunia profesionalisme Aji betul, tapi ini masalah pasangan hidup, beda Aji”

“Aji bisa mengerti Dayu, tapi kamu juga harus mengerti bahwa kita punya keluarga besar yang kita wakili”

“Nggih Aji, tapi apakah hidup kita akan ditentukan oleh apa kata sudara kita yang belum tentu perhatian dengan masa depan kita?, Aji sendiri yang banyak membantu keluarga tidak pernah memaksakan kehendak terhadap orang lain apalagi saudara”

“Ehm…penerbangan kamu ke Yogya jam berapa Dayu?” kata Ibu menyela pembicaraan yang selalu berujung dengan kekesalan satu sama lain.

“Jam 09.00 Bu”

Aku merasa beruntung memiliki orang tua yang cukup moderat terhadap perkembangan jaman, mereka tidak pernah memaksakan kemauannya terutama yang menyangkut tradisi bahwa aku harus menikah dengan orang yang sederajat denganku ‘bangsawan’. Ya, sebagian teman dan saudaraku bilang bahwa aku beruntung, tapi sebagian lagi bilang bahwa keluargaku tidak bisa menjaga tradisi dan menurunkan derajat keluarga. Beberapa keputusan yang diambil ayahku tidak sejalan dengan apa kemauan mereka kebanyakan yang katanya menjaga tradisi. Ayahku memiliki manager pemasaran di kantornya Dayu Ika, dia dikucilkan oleh keluarga besar griya karena menikah dengan Gede Bajra orang kebanyakan alias ‘sudra’. Tapi kata ayahku, menikah itu adalah masalah hati, bukan masalah derajat. Setelah menikah Dayu ‘dibuang’ tapi oleh ayah, dia disuruh datang kerumah. Aku masih ingat, saat Dayu Ika menangis dipelukan Ibuku, dan Bli Gede duduk tegak diam, dan aku bisa merasakan betapa sesak dadanya berjuang atas nama cinta. Saat itu Bli Gede masih sebagai seorang guide dengan gaji pas-pasan dan belum punya rumah. Ayahku memberikan masukan kepada mereka untuk kontrak rumah sendiri, dan meminta Dayu Ika untuk ikut membantunya di kantor. Dan sekarang, Dayu Ika menjadi orang kepercayaan ayahku, Bli Gede memiliki restaurant khas Bali yang jadi langganan para turis asing berkat promosi teman-teman turis asing yang pernah dia layani saat liburan di Bali. Dan saudara ayahku tetap pada pendiriannya untuk mengucilkan mereka.

Pak Ari sopir keluargaku sudah siap didepan, dan aku masuk duduk disampingnya. Mobil meluncur dan aku lambaikan tangan kepada ibuku yang selalu berada didepan rumah saat aku pergi kemanapun. Aku sangat mencintai ibuku.

“Berapa hari di Yogya Dayu?”

“Paling lama satu minggu pak Ari, dan nanti saya telepon pak Ari kalau saya sudah tahu jadwal pulangnya”

“Dayu, tiyang sering dapat titipan salam dari Gus Raka, kalau pas ke griya temple mengantar titipan Ibu, katanya dia hanya mau pacaran sama Dayu”

“Pak Ari, sudah berapa kali bapak ngomong seperti ini ke saya, dan tolong sampaikan ke dia, suruh dia ngomong sendiri ke Dayu!, tiyang nggak suka laki-laki yang nggak gentle, beraninya ngomong ke orang lain, nggak berani ngomong sendiri”

“Nggih Dayu, selalu tiyang sampaikan ke Gus seperti yang Dayu pesan ke tiyang, dan selalu dia bilang nanti bila saatnya tiba”

Aku diam, sebel, karena ini bukan yang kedua kali atau ketiga kali, Gus Raka selalu menggunakan kekuasaannya untuk segala kepentingannya termasuk bilang cinta sama aku, dan terus terang aku mulai muak dengan gaya feodalismenya yang sudah nggak jamannya lagi. Sebenarnya orangnya ok, cakep, kaya, cukup pandai, sekolahnya juga cukup OK, Cuma gayanya yang buat aku nggak sreg, tapi ayahku beberapa kali menyinggung dia saat makan malam bersama. Dari cara Aji berbicara, terlihat sekali kalau dia menginginkan aku untuk berpacaran dengan Gus Raka dan nantinya menikah. Kami adalah saudara jauh, ayah Gus Raka adalah saudara jauh yang menjadi saudara karena perkawinan adik ayah dengan salah satu kerabat ayahnya Gus Raka. Ah..lebih baik aku pikirkan perjalananku ke Yogya dari pada buang energy memikirkan hal yang menurutku belum perlu dipikirkan.

Handphoneku bergetar…

”selamat pagi”

“Hai Dayu! Jam berapa sampai di Yogya, nanti aku jemput” suara yang keras dari seberang sana sangat nyaring terdengar, Laksmi, lengkapnya Ni Made Laksmi, sahabatku dari mulai SMA dulu yang kini sudah menetap di Yogya, menikah dengan pria pilihannya yaitu Erwin dari Yogyakarta yang berprofesi sebagai Wedding singer, atau penyanyi untuk acara perkawinan yang skalanya besar di Yogyakarta. Dan Laksmi sendiri menjalankan bisnis network marketing dan terbilang sudah mulai menuai kesuksesannya.

“jadwalnya sih jam 11.00 nanti landing di Yogya, kamu lagi dimana?”

“Aku lagi nungguin Sari di sekolahannya, khan dia sudah play group sekarang”

“Ya ampun, keponakanku sudah sekolah”

“Kali ini kamu mau nggak nginep dirumahku? Jangan di hotel”

“Nggak enak sama Erwin Laks, aku banyak muter-muter sampai malam, nanti malah ngrepotin”

“Kamu selalu begitu Dayu, ok kita bicara nanti saja, see U at the airport”

“Ok Laks, da….”

Dan aku sudah sampai di pintu depan check in domestic Ngurah Rai airport, aku sisipkan lipatan uang seratus ribuan kekantong baju depan pak Ari.

‘Nggak usah ngomong apa-apa, itu buat liburan sama anak-anak ke Tiara Dewata besok minggu, Suksma Pak Ari, samapai ketemu minggu depan”

Mulut pak Ari yang tadinya terbuka mau mengatakan sesuatu langsung tertutup, dan tersenyum. Dari senyumnya saja aku sudah bisa membaca bahwa dalam hatinya dia mengucapkan terima kasih yang luar biasa besarnya kepadaku dan Dia yang punya hidup.

Duduk dia dalam pesawat, aku langsung masukan earphone ke telingaku dan memejamkan mata menikmati U2..but I still haven’t found what I am looking for…”

Lanjutkan ke bagian 6>>

Tidak ada komentar: