Kamis, 17 Januari 2008

Wayan dari Seberang (Bag 1)

“Nggak”. Katanya lemah (mungkin karena lapar, nggak punya uang buat beli makan)

Entah apa yang membuatku memutuskan untuk duduk disebelahnya dan memulai percakapan, aku tak tahu. Yang jelas setelah seperempat jam ngobrol sana- sini kuputuskan untuk mengajak dia makan dan bermalam di tempat kostku.

Saat tinggal di tempat kostku, Parman sangat rajin sekali, dia bangun pagi, nyapu, ngepel dll. Sehingga Ibu dan Bapak kost suka banget sama dia. Sampai nggak terasa sudah seminggu dia tinggal bersamaku, dan akhirnya Ibu kost meminta Parman untuk ikut bantu-bantu dia ngurusin pekerjaan rumah.

Satu tahun sudah aku tinggal sendiri, dan biarpun begitu aku tetap satu minggu sekali mengunjungi orang tuaku. Ibuku sering menasihati aku agar minta maaf kepada Bapak, tapi aku bilang, “Aku ngga merasa salah kok bu, lagipula seperti ibu lihat aku tetap bicara dengan bapak seperti biasa “

“Iya, tapi dalam hati ayahmu pasti sedih sekali dengan keadaan seperti ini”

“Nggak bu, mungkin memang sudah jalannya seperti ini, biarkan Yanto berjuang sendiri untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa Yanto bisa jadi orang’

“Terserah kamu lah Yan”

Memang, biarpun aku masih bicara dengan Bapaku, tapi pembicaraan sekarang terkesan formal banget, seolah masing-masing dri kita saling menjaga jarak agar tidak memulai sesuatu pembicaraan yang bisa menjadi konflik.

Malam itu, sabtu malam, aku ngobrol dengan Parman di teras depan rumah kost.

“Bli (biarpun di aku kelahiran Jawa, tapi aku biasa dipanggil dengan sebutan itu) kok nggak pergi atau berkunjung ke rumah pacar, malah bengong di rumah?”

“Nggak punya pacar Man.”

“Yo jelas nggak mungkin orang kayak Bli kok nggak punya pacar, apanya yang kurang? Sudah punya penghasilan sendiri, ganteng, gagah...”

“Nggak ngerti lah Man, lagi males aku punya pacar.”

“Ojo keterusen lho Bli”

“Man”

“Ya Bli”

“Kalau aku pengen kaya, kamu mau Bantu aku?

“Waduh Bli, kok tiba-tiba nanya aneh seperti itu? Tapi...ya jelas aku mau bantu, yang penting halal, dan jangan minta yang nggak-nggak seperti maling atau ngrampok.”

“Aku pengen jual bakso, tapi aku nggak punya waktu, pagi aku masih kuliah dan malamnya aku masih kerja”. Mengapa bakso? Mungkin karena aku terinpirasi orang Wonogiri yang jualan bakso dan sukses, yang sempat naik taxiku dan cerita sepanjang perjalanan dari Semarang ke Wonogiri tentang perjalanan susah dan senangnya jualan bakso.

“Wah..kalau itu saya mau sekali, Cuma saya ada satu permintaan Bli”

“Apa itu”

“Boleh nggak saya ajak teman saya Budi dari kampung untuk ikut bantu?”

“Boleh”

Singkat cerita kami mulai usaha warung bakso itu dengan mengontrak sebuah rumah kecil dari hasil uang tabunganku. Dan berkat usaha keras dari kami bertiga usaha itu terus berkembang sampai sekarang ini. Dari hanya punya 15 kusi menjadi sekarang 45 kursi.

Itulah sejarahku dan sejarah warung baksoku.

Malam ini Ibu memasak ikan asin dan lele bakar plus sambel matah Bali, satu-satunya masakan Bali yang bisa dimasaknya karena gampang. Dan semua itu tersedia dimeja dihadapan kami, langsung saja kami semua makan sampai mblenger. Lalu ayahku mulai membuka percakapan.

‘Wayan, apa rencanamu setelah ini?

‘Maksud Bapak, setelah ini yang apa?’ tanyaku bingung.’Maksudku ya, setelah kamu mulai melakukan apa yang kamu yakini, dan menurut Bapak kamu sudah menunjukan bahwa kamu mampu untuk mandiri.

Ibu dan adik-adiku semua mulai memperlambat kecepatan makannya, karena mereka merasa ada pembicaraan serius dimeja itu. (Bapak mengakui Bli Wayan bisa mandiri??!!!)

‘Terima kasih Pak, sudah memberikan kepercayaan kepada Wayan, Bapak sendiri pengennya Wayan bagaimana?’

‘Bapak susah ngomongnya karena, Bapak merasa kamu nggak mungkin dengerin omongan Bapak’

‘Wayan dengerin Pak, biarpun mungkin Wayan tidak bisa menururi semuanya’

Bapak diam dan terlihat mengumpulkan sisa-sisa kepercayaannya terhadapku.

“Bapak ingin kamu pulang ke Bali, dan kalau bisa kawin dengan anak Bali

Aku diam nggak ngomong apa-apa.

‘Terus terang Bapak kawatir sudah seumur ini, pacar yang serius kamu nggak punya, Bapak coba kenalin ke gadis-gadis Bali anak teman-teman Bapak kamu juga acuh saja’

“Belum ada yang sreg Pak, Wayan sudah tahu kalau Bapak pengen Wayan pindah ke Bali? Wayan nggak akan pernah melupakan, karena dari kecil Bapak selalu ingin pulang ke Bali dan menginginkan anaknya bisa hidup di Bali dan saat ini dia sudah merasa cukup dewasa seperti apa yang selalu ayahnya bicarakan ke dia”

Bapak terlihat agak terkejut mendengar jawabanku.

“Bapak nggak usah kawatir, Wayan akan segera selesaikan kuliah dan sudah menjadi keputusanku untuk kemudian pulang ke Bali”

“Lalu di Bali kamu mau kerja apa Yan? Ibuku sigap sekali bertanya, atau itulah naluri Ibu yang selalu mengkawatirkan tentang anaknya.

“Belum tahu Bu, yang jelas Wayan nggak ngerti nantinya bagaimana, karena sampai sekarang Wayan juga belum tau nantinya mau jadi seperti apa?”

Setelah itu makan malam berjalan seperti biasa, Cuma pikiranku yang melayang nggak tentu kemana.

lanjutkan ke bagian 2

Tidak ada komentar: