Kamis, 17 Januari 2008

Wayan dari Seberang (Bag 3)

PERJALANAN

Tiga hari sudah aku mengunjungi keluarga-keluarga dekatku, ayahku selalu menekankan bahwa aku tidak boleh kemanapun sebelum mengunjungi semua keluarga dekatku., setelah itu baru boleh melakukan yang lain. Dan sekarang saatnya untuk mempersiapkan perjalananku. Aku pinjam sepeda motor milik Pasih untuk ke Denpasar mencari sepeda. Setelah pilih-pilih, aku putuskan beli sepeda gunung Pollygon seharga 1 juta, dan kulengkapi dengan peralatan seperti tas samping, lampu dan perlengkapan perjalanan jauh lainnya. Dan aku juga beli tenda+sleeping bed untuk berjaga-jaga kalau pas kamalaman di jalan.

Siang itu aku ditepi pantai semawang sanur, aku duduk di sebuah cafĂ©, aku minum bir sambil merencanakan perjalanku diatas selembar peta pulau Bali. Sanur, aku lingkari desa yang dulunya kecil dan bermetaforfosis menjadi sebuah kota kecil dan berbagai keramaian dan memiliki puluhan hotel berbintang. Ada dua pilihan ketimur atau kebarat dulu?.....kuambil sekeping uang receh 500an dan kuputar diatas meja, timur bila angka dan barat bila garuda yang muncul. Kutindih uang yang beroutar itu dengan tangan kananku, dan kubuka…..”500”..langsung kuarahkan pena ke Gianyar, Klungkung, dan Karangasem. Dan kuteruskan melingkari pulang Bali sampai di Bedugul, kemudian Singaraja, Negara, Tabanan, Tanah Lot, Kuta, Nusa Dua dan akhirnya kembali ke Sanur. Sengaja aku tidak merencanakan dimana aku akan bermalam, karena aku benar-benar belum tahu. Dan yang terakhir adalah..aku harus beli kaca mata, dan aku ingin yang agak bagus, makanya langsung aku genjot sepedaku ke Denpasar dank e sebuah optic di sebuah Mal di dekat jalan Jend. Sudirman, sekalian aku beli sebuah buku saku panduan perjalanan keliling pulau Bali.

Siang itu nggak begitu ramai, dan di hall utama ada banyak ibu-ibu yang duduk dan memperhatikan seorang wanita yang “cukup lumayan” menurutku, dia begitu bersemangat berbicara sambil tangannya terus memijat wajah dari seorang ibu yang duduk didepannya. Aku berhenti sebentar dan memperhatikannya, dia berbicara dengan sangat lembut tapi aku merasa ada semangat yang besar dalam suara itu, dan aku terus memperhatikan.

Katanya “Bahwa kulit harus dipelihara, dan saat ibu-ibu dapat melakukan semua ini, ibu pasti bisa melakukannya dirumah untuk cari uang tanpa harus menunggu mendapatkan uang dari suami, kita wanita harus mandiri, tapi kalau dikasi uang suami yang terima saja..” (semua pengunjung yang mendengarkan tertawa) khan bisa ditabung atau untuk hal lain yang berguna”

Boleh juga pemikiran anak ini (aku bilang anak karena setelah kuperhatikan dia kurang lebih seumurku). Aku putuskan untuk tetap diam dan mendengarkan, sampai akhirnya…”Pak, bisan bantu saya” kata wanita itu sambil menunjuk ke arahku.

“Saya?”

“Ya, anda”

Aku mengangguk dan maju kedepan ke arahnya.

“Ibu-ibu sekalian, suami dirumah juga bisa diajak untuk membantu, misalnya…ee..bapak namanya siapa ya? Aduh minta ampun…matanya itu dan dia ternyata cantik sekali…..”namanya siapa gus? Tanyanya sekali lagi sambil senyum-senyum, dan semua pengunjung tertawa mentertawakan aku.

“e..e..saya Yanto”

“Dari jawa ya mas?”

“Ya, semarang”

“OK, mas Yanto tolong ambilkan……setelah itu aku Cuma melakukan semua yang dia minta sampai acara selesai dan kami bersalaman, dan dia bilang “terima kasih mas Yanto”

Dan aku Cuma bilang “OK, sama-sama” dan aku pergi meninggalkannya sambil berfikir bahwa kelihatannya aku pernah melihat gadis ini, hanya dimana? Aku sendiri lupa, tapi dia “ jegeg sajan”

Dan aku segera meneruskan rencanaku untuk beli sunglasses untuk perjalananku.

Sore itu, udaranya sedikit mendung, dan aku mempersiapkan sepedaku dan semuanya, dan setelah semua beres, aku mandi dan memakai sarung dengan kancut didepan, plus selendang untuk pergi ke Sanggah bersembahyang untuk mohon restu perjalananku besok.

Pagi-pagi aku sarapan nasi campur Bali, dan minum vitamin. Dan setelah pamitan ke Bapa Roti, Me Made, Pasih dan Tukad aku mengayuh sepedaku ke arah baypass Sanur Padanggalak, aku kayuh sepedaku perlahan sambil menyapa beberapa tetangga yang sedang menyapu jalan depan rumahnya, lagu U2 “with or without you” mengawali perjalananku. Ya, Bono adalah orang luar biasa, pengaruhnya besar, perjuangannya untuk rakyat miskin dunia juga luar biasa, sayangnya banyak temanku yang jadi penganut “Bonoisme” yaitu berjuang melalui petisi-petisi yang dikirim lewat internet, konser musik amal yang hasilnya disumbangkan dan lain-lain yang sejenis dengan hal-hal itu. Bukan aku tidak setuju, cuman bayangkan kalau semuanya berjuang seperti itu, kapan mentasnya orang-orang miskin tersebut, makanya aku ambil jalan lain yaitu buka warung bakso yang sekarang 10% dijalankan oleh Parman dan Budi assitennya. Dan aku sudah mulai bisa mersakan yang namanya “passive income” yang ditransfer oleh mereka diakhir bulan, mulai bulan ini. Ceritanya sebelum berangkat ke Bali, aku ajarin Parman untuk bisa membuat pembukuan sederhana, yaitu pengeluaran berapa dan pemasukan berapa, dan sisanya itu untung untuk kita bagia bertiga setelah dikurangi “tabungan perusahaan” atau istilah kerennya penyusutan sebesar 10% dari keuntungan.

“10% ini akan jadi banyak dan kita bisa buka cabang lagi di Tegal tempat asalmu” kataku kepada Parman, dan terlihat wajahnya sangat sumringah. Itu caraku mengentaskan kemiskinan, dan memang Cuma dua orang yang terkena efek secara langsung, tapi yang nggak langsung aku yakin banyak, contohnya : ibu Puji penjual sawi, pak Bejo penjual daging sapi, Supri tukang parker didepan warung bakso kita, belum saudara-saudara Parman yang sering dikirimi uang untuk beaya sehari-hari dan sekolah. An kata Parman adiknya sekarang sudah mulai buka warung kelontong di kampunya Tegal dengan modal dari uang yang setiap bulan dia kirimi. Dan semenjak saat itu aku percaya bahwa sekecil apapun yang kita lakukan atau berikan efeknya adalah tidak sependek apa yang kita pikirkan.

Matahari pagi itu hangat sekali, dan aku mulai mengayuh sepedaku dengan cukup cepat, dan pantai sanur disebelah kanan jalan terlihat tenang dengan riak ombak kecilnya, kemudian aku mengambil jalan kesebelah kanan memutar menuju ke bypass menuju ke Batubulan, lancer sekali perjalanan ini tak terasa aku sudah di pertigaan patung “No Problem” yaitu bayi raksasa. Ini disebut patung no problem karena dulu ada sticker yang dijual bebas dengan gambar bayi lucu dan ada tulisan no problem dibawahnya. Dan aku meluncur kea rah kota ubud, dan makan siang disana. Ubud tidak banyak berubah akhir-akhir ini, masih tetap tenang dengan vila-vila super mahalnya, tentunya bagi aku, tapi bagi orang-orang kaya uang segitu nggak ada apa-apanya. Bayangkan uang 5 juta hanya dipakai untuk nginap semalam. Ada juga sih yang murah yang Cuma 100 ribuan dan sebenarnya kamarnya nggak jauh beda sama-sama ada kasurnya, sama-sama ada kamar mandinya, sama-sama ada terasnya. Yang membuat beda adalah nilai Rupiah (beli) dari ketiga hal tersebut beda, dan yang melayani juga beda. Ya itulah kehidupan ada yang mahal ada juga yang murah, ada yang kaya ada juga yang miskin, ada yang rajin ada juga yang malas, dan aku mulai ambil kesimpulan bahwa yang namanya perfect world itu bukannya semua sama tapi dimana ada keseimbangan antara sesuatu yang berlawanan, jadi aku memang harus berhadapan dengan semua itu. Setelah makan siang kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Kintamani, dan aku menginap disana. Aku menginap di sebuah homestay milik dari sepasang suami istri yang masih muda menurutku kira-kira 35 tahunan dan punya 2 anak yang pertama Putu kelas 5 SD dan yang kedua Kadek kelas 2 SD. Sang suami sambil menjalankan bisnis homestaynya juga melukis dirumah dan sang istri seperti wanita Bali pada umumnya menghabiskan waktunya untuk melayani Tuhan dan keluarga, pagi bangun pergi ke pasar dan pulang sampai dirumah menyiapkan sarapan untuk suami dan kedua anaknya. Dan setalah itu membersihakan rumah dan homestaynya, dan kemudian “mejahitan” (menyiapkan sesaji) disamping suaminya yang sedang melukis. Dua malam aku menginap disana, aku habiskan waktuku untuk beramain bola bersama Putu dan teman-temannya, naik ke gunung Batur dan berendam di kolam hangat dipinggir danau Batur, tempat yang sangat indah. Dan aku berkesempatan mengajari suami istri tersebut membuat bakso sendiri, dan mereka senang sekali. Dan pagi itu aku pamit dan mereka berempat melambaikan tangan didepan rumahnya, dan aku merasa hatiku sangat hangat sekali. Medan kali ini cukup berat, jalan menuju ke pura Besakih naik turun, beberapa kali aku harus turun dan mendorong sepedaku karena jalan naik yang cukup tinggi dan panjang, tapi pemandangannya indah sekali. Dan akhirnya aku sampai di Pura Besakih, dan langsung aku terlentang diatas kursi panjang sebuah warung makan Bali. Paru-paru ini rasanya mau meledak dan kaki serta pantat serta tangan terasa sangat tegang sekali. Ibu pemilik warung itu langsung keluar, “ada apa gus? Kamu nggak papa, saya panggilin dokter ya” katanya gugup

“Nggak usah..nnnggak uss..sah Bu..” jawabku sambil kesulitan bicara karena nafas yang naik turun ini. Kepalaku rasanya pening sekali dan isi perut rasanya mau keluar. Dan dalam keadaan seperti ini aku terbayang ayahku, ibuku yang tidka pernah tahu kalau aku melakukan perjalanan ini, aku lupa pamit ke mereka, aku terbayang Parman sedang jualan bakso, dan tiba-tiba aku merasa takut sekali dengan keadaanku, aku merasa bahwa aku tidak melakukan banyak hal untuk membuat mereka kedua orang tuaku berbahagia, aku sibuk dengan pencarianku sendiri, dan aku ingin sekali pulang….

Yang pertama kali kulihat adalah bedeg anyaman bamboo warna coklat mengkilat karena vernis, pertama samar-samar dan terus berubah menjadi nyata, lalu kulihat meja kecial disebelah kanan dengan alat pengukur tekanan darah diatasnya dan beberapa suntikan yang masih disegel, aku di ruang kerja seorang bidan atau dokter! Begitu saja pikirku. Aku berusaha untuk bangun, tapi kepala ini berat sekali, dan seorang perawat menyingkapap korden pembatas, “Sudah bangun bli Wayan? Katanya sambil menyentuh jidatku seperti seorang ibu menyentuh jidat anaknya yang sakit panas, aku mengangguk.

“Istirahat dulu saja, bli Wayan ada di puskesmas desa Besakih, tadi pingsan didepan warung Me Gita, dan saya Kadek, perawat disini, sebentar tiyang ambilkan mie rebus panas ya”

Dan aku Cuma mengangguk lemas, kepalaku rasanya masih berputar. Sekarang aku mulai ingat, aku bersepada semangat sekali dari Kintamani, dan jalannya naik turun, aku minum terlalu sedikit dan sarapan terlalu sedikit Cuma roti tawar dan telur rebus saja, aku paksakan diriku untuk cepat sampai di Besakih, dan akhirnya aku sampai di depan sebuah warung, lalu ada wanita yang menanyaiku dan setelah itu aku seperti sekarang ini di kamar puskesmas ini.

“Mbok Kadek, tolong minta air putih hangat” teriaku lirih.

Nggak lama, Kadek dating membawa segelas teh hangat segelas,”minum the manis hangat saja biar cepat pulih”

Aku minum cepat sekali, keinginanku hanya satu, cepat sembuh, dan mekemit di Besakih.

“Bli wayan mau ke kamana? Dari jawa ya? Tadi saya sempet lihat ktp-nya” semua itu diucapkan dekat logat Bali yang jelas “the” nya, terdengar seperti nyanyian ditelingaku.

“Ya dari Jawa”

“Naik sepeda dari Jawa?”

“Tidak, dari Sanur”

“Trus setelah ini mau kemana?”

“Mekemit di Besakih, dan terus keliling Bali”

“Pengen tahu Bali ya Bli?

Aku mengangguk.

Mbok Kaded keluar dan masuk lagi membawa mie instant rebus yang panas.

“Wayan makan mienya dan kalau mau nginap disini silakan sudah saya sampaikan ke penjaga malam disini tentang Wayan, saya pulang dulu nanti malam saya kesini untuk cek kesehatan Wayan” Aku merasa lebih nyaman dengan panggilan tanpa “Bli” karena aku rasa umur Kadek tidak jauh berbeda denganku. Aku makan mie rebus itu panas-panas, dan setelah itu aku tidur lagi.

Suara dentingan sendok beradu piring membangunkan aku, tampak Kadek dengan kebaya dan jarik sederhana, berselendang batik tua kecoklatan, dan potongan bunga kamboja di telinganya. Dia tampak lain dengan pakaian putih perawatnya tadi sore.

“Sudah enakan Wayan?

“Ya” dan aku sudah mulai bisa bangun dan duduk di tempat tidur. Lalu aku coba untuk turun dan berjalan dan aku merasa jauh lebih baik dari tadi sore, kuteruskan berjalan mengikuti Kadek ke ruang depan di lorong tunggu pasien.

“Tiyang sudah lapor ke Kelian banjar melaporkan tentang Wayan, dan mungkin nanti beliau akan datang menengok, semua peralatan wayan ada dirumahnya”

Tidak lama kemudian ada 3 orang laki-laki dating dan akupun langsung berdiri menyambutnya.

“Om Swastiastu”

“Om Swastiastu”

Nyoman Ringin, Made Brata dan Gina, mereka bertiga adalah pengurus Banjar dimana aku berada. Kami bicara, dan aku memperkenalkan diri dan sedikit menjelaskan tentang tujuan perjalananku. Dan mereka menjelaskan bahwa mereka menyimpan semua perlengkapanku karena prosedur keamanan banjar saja. Mereka luar biasa sambutannya dan semua menawarkan rumahnya sebagai temoat aku menginap, dan aku memutuskan untuk menginap di puskesmas saja. Dan ternyata Kadek adalah anak kedua dari Bapak Nyoman Ringin, kelian Banjar disini. Setelah lulus sekolah perawat di Surabaya memutuskan untuk kembali kedesanya dan bekerja di puskesmas sebagai tenaga honorer.

“Honorer kan uangnya sedikit, mengapa tidak bekerja di jawa saja agar dapat uang banyak?’ tanyaku.

“Sebenarnya bukan Cuma karena itu, tapi karena pacarnya orang sini yang buka artshop di Besakih” kata pak Nyoman.

Aku tersenyum dan mengatakan “Pacar Kadek sangat beruntung”

“Dan Wayan sendiri…e..maaf…pacarnya orang mana?” pak Nyoman terlihat menyesal menanyakan hal itu kepadaku, tapi sudah terlanjur.

“saya belum punya pak Nyoman, teman banyak tapi nggak tahu saya belum ada yang sreg”

“Jadi belum pernah pacaran?” tanyanya polos

“Kalau cuman pacaran-pacaran sih pernah” aku mulai merasa nyaman tinggal disini pembicaraan mulai mengalir deras sekali tanpa kompromi. Mereka orang desa yang sangat polos dan aku orang kota yang belajar untuk jadi polos. Sampai akhirnya pak Gina angkat bicara.

“Cari orang Bali saja mas Wayan, agar tetep jadi orang Bali dan sudah ngerti aturan-aturan sebagai orang Bali. Dari pada nanti dapat orang Jawa trus nanti tidak mau ikut Hindu, lama kelamaan Mas Wayan pasti ikut istri demi keutuhan keluarga”

“Khan agama semuanya sama pak Gina?” tanyaku

“Ya memang betul semua sama, Cuma bagaimana nanti para leluhur yang ditinggal, nanti malah masa depan mas Wayan nggak kebenaran”

Orang Bali sangat percaya dan sangat menghormati leluhurnya, dan itulah salah satu alas an mengapa sampai sekarang ini aku masih sebagai orang Hindhu. Aku tidak tahu banyak tentang agama Hindhu tapi aku sangat percaya dan menghormati para leluhurku. Itu saja.

Pak Brata yang umurnya lebih muda ikut bicara.

“Kalau menurut saya, orang Bali juga nggak kalah cantik dengan orang Jawa lho Mas Wayan, coba mulai sekarang buka mata lebar-lebar saat melakukan perjalanan keliling ini, boleh mencari spiritual tapi perlu juga refreshing yang segar-segar”

Dan kami semua tertawa.

Tidak terasa sudah jam 11.00 malam, dan ketiga pria itu pamit dan mempersilahkan aku untuk beristirahat.

Aku tidak bisa langsung tidur, aku masih memikirkan semua pembicaraan tadi dan juga Kadek. Memang orang Bali nggak kalah cantik dengan gadis pulau lain di negri ini. Wajah Kadek terlintas di benaku, khas Bali dengan wajah bulat rambut hitam sebahu, pinggul bulat jelas terlihat saat dia mengenakan kebaya tadi sore, pinggangnya juga ramping dan bunga putih di telinganya itu yang membuat wajahnya enak sekali untuk dibayangkan. Dan…Tapi dia sudah punya pacar Yan!!! Tiba-tiba bagian dari diriku bicara di kepalaku. Dan aku tersenyum sambil memukul pelan pikiranku yang mulai liar ini. Selimut di puskesmas ini cukup tebal untuk membuatku tidur nyenyak semalam tanpa terbangun.

Pagi yang sangat cerah, selesai mandi aku menemui Kadek di kantor Puskesmas, aku ucapkan terima kasih dan aku bilang kalau aku mau cari home stay dekat Besakih dan juga aku meninggalkan nomor handphone dan alamat rumah Pamanku di Sanur. Dan dia tersenyum tulus sekali, dan dalam hati aku berucap selamat untuk pacar dari wanita Bali yang setia ini.

Sebelum cari home stay aku mampir di warung tempat aku pingsan kemarin dan sebagai ucapan terima kasih aku sarapan disana. Ibu itu banyak cerita tentang kondisi Besakih sekarang ini, katanya kalau disbanding dengan beberapa tahun yang lalu sebelum bom meletus di Kuta, ya jauh sekali. Hanya sanya mimic wajahnya sedikitpun tidak menunjukan rasa sedih atau kecewa karena berkurangnya jumlah turis. Katanya, hanya orang bodoh yang mengaku kalau ngebom itu tindakan yang benar menurut agama. Dan aku setuju dengan ibu yang Cuma lulus SMP ini. Atas sarannya aku langsung menuju ke Besakih home stay yang terletak tidak jauh kurang lebih 100m dari Pura Besakih. Stelah check in, aku ganti dengan sarung berkancut tengah, saput kuning dan kaus putih, selendang batik pemberian Ibuku dan udeng batik yang kupinjam dari Tukad. Aku pergi ke Pura Besakih untuk sembahyang. Genitri yang kubeli di pasar seni Sanur aku kalungkan di leherku dan kumasukan ke dalam kaus agar tidak terlalu mencolok, malu rasanya dilihat orang banyak nanti dikira orang yang tahu banyak tentang agama, intinya aku merasa belum percaya diri didepan umum dengan barang yang satu ini, mungkin aku takut dikira terlalu agamis.

Pura Besakih memang luar biasa, aku baru kalau tidak salah 3 kali mengunjungi pura ini, dan sekarang adalah yang ke empat. Kunjungan yang ketiga adalah ketika aku masih duduk di bangku SMA, itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan sekarang perasaan yang sama masih terasa dalam hatiku. Aku merasa belum kenal dengan ‘yang disini’ hatiku merasa gelisah tapi yakin bahwa ‘mereka’ akan menerimaku. AKu langsung menuju ke bagian utama pura, yaitu sebauh tempat terbuka beralaskan batu dengan 3 padmasana yang tinggi mewakili adanya Sang Hyang widhi di Besakih. Aku ambil bunga dan aku bersila tepat didepan padamasana yang berada di tengah, dan aku mulai hening.

Aku belajar tentang ‘hening’ dari seseorang yang kukenal di kampus, Bambang namanya, orangnya kecil terlihat rapuh namun jangan lihat matanya, saat kita lihat tubuhnya yang terpikir adalah betapa lemahnya orang ini, tapi setelah kita bertatapan dengan matanya, sirna sudah semua kelemahan dibenak kita, yang ada adalah keyakinan, keteduhan dan kesabaran. Dari kecil dia sudah belajar tentang kejawen dari seorang tua yang tinggal di kampungnya, dank arena dia bersahabat dengan orang tua itu, maka setiap orang tua tersebut berbicara kepada para pengikutnya Bambang selalu berada disampingnya, mendengarkan semuanya. Samapi akhirnya dia bisa memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang dengan sentuhan tangannya dan dengan doanya. Kata Bambang semua adalah atas kehendakNya. Dia tidak pernah ke gereja, ke mesjid , ke pura, ke wihara ataupun ke tempat-tempat ibadah pada umumnya, tapi dia selalu ke gunung, ke pantai dan ketempat-tempat yang menurutku adalah tempat yang cocok untuk berwisata menenangkan pikiran. Menurutnya tempat ibadah adalah sama dengan ketenangan hati, katanya kita semua boleh beribadah dimana saja, dan akupun beribadah dimana saja, hanya saja yang kau lihat adalah aku merenung dan bicara kepada Tuhan di gunung dan di pantai, tapi sesungguhnya aku bicara kepadaNya dimana saja.

Secara hati dan sikap Bambang tidak ada duanya, hanya saja dia nggak pernah bisa pacaran lama, karena dia tidak pernah bisa menjawab ketika ditanya oleh orang tua pacarnya saat apel yang keberapa kali tentang “agamamu apa nak Bambang?” dia tidak pernah menjawab, karena memang gurunya tidak pernah memberitahukan tentang hal itu, katanya ke beberapa teman dekatnya salah satunya aku, “aku memang tidak punya agama, tapi aku percaya akan adanya Allah pemilik alam semesta ini. Dan karena birokrasi dan lain-lain di KTPnya tertulis HINDU. Aku pernah bertanya kepadanya, mengapa kau tuliskan Hindu di KTPmu, jawabnya, Hindu adalah yang paling mirip dengan apa yang aku jalani.

Setelah melantunkan Tri Sandya dan mebakti, aku melakukan apa yang diajarkan oleh Bambang yaitu hening, aku serahkan semuanya kepadaNya, semua kegelisahanku dan kesenanganku. Aku sendiri tidak tahu apakah aku sudah mencapai apa yang namanya hening, karena Bambang bilang bahwa bila nanti saatnya tiba maka kau akan tahu, karena aku sendiripun belum tahu. Bambang tidak pernah menyiarkan apa yang dia percayai, dia hanya menjawab apa yang ditanyakan oleh teman-temannya. Menurutnya kepercayaan itu tidak bisa disiarkan,tapi harus dilakukan. Kami sering ngomong kalau sebaiknya dia jadi dukun “psikologi modern” karena gayanya yang klenik dan petuahnya yang sangat bijak. Dalam hening itu aku merasa melakukan perjalanan…lalu…

Orang tua itu tersenum kepadaku dan berbicara “Anak muda, kau lihat wanita yang sedang mengembalakan rusa di pinggir sungai itu? Dia juga sama seperti kau di sedang mencari, mungkin kau bisa bersama-sama dengannya dalam pencarian itu” Dan aku melihat seorang wanita dengan pakaian semua serba putih, wajahnya tenang, dan terlihat dia mencuci pakaian dengan tenang dan senang, dan dia menoleh sebentar ke arahku dan tersenyum.

Orang tua itu meneruskan pembicaraannya,”manusia memang harus mencari, karena saat mencari itulah menjadi saat yang penting baginya, tapi kau tidak boleh lupa untuk membagi karena disitulah bahagia itu ada”

Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun, aku takjub dengan orang tua itu, dan aku takjub dengan ketenangan wanita yang terus memberi makan rusa, sangat damai dan semua rusa itu terlihat sangat menghormatinya. Dan suara gesekan sapu lidi di luar kamarlah yang membangunkan aku dari mimpi yang damai itu. Mencari!...ya…memang aku harus mencari.

Aku terhenyak dari heningku….dia dating lagi..ya mimpi yang dulu kudapatkan sekarang datang dalam heningku. Satu step lebih tinggi dari mimpi ke hening. Siapa orang tua itu dan siapa wanita itu. Bambang pernah bilang kepadaku kalau aku dilindungi oleh leluhurku, yang selalu mendampingiku dan membantuku. Aku sulit sekali memahami apa yang dikatakan Bambang, agar mudah aku simpulkan bahwa dia ‘guardian angel’ untuku. Aku pernah mendesak Bambang tentang cirri-ciri leluhurku yang mendampingiku, dia Cuma bilang “rambutnya digelung diatas seperti rambut Mahapatih Gajah Mada, dan tubuhna terbungkus kain putih seperti para Mpu di jaman Majapahit. Dan manusia memang selalu mencari yang termudah untuknya, naluri, maka kusimpulakn bahwa orang tua dalam mimpi dan heningku adalah leluhurku. Lalu siapa wanita itu?


Panas matahari pk. 10.00 pagi sudah mulai terik, aku masih ingat ketika aku SMP dan berlibur ke Bali. Matahari jam 10.00 pagi masih terasa enak dikulit, tapi sekarang..minta ampun panasnya. Aku segera berdiri dan berjalan ke depan untuk ‘nunas tirta’

‘Pemangku’ tua itu berjalan pelan sekali, dia tersenyum kepadaku dan akupun membalasnya..”Om Swastiyastu” kataku sambil mengatupkan kedua telapak tanganku didadaku, dan diapun membalasnya

“Om Swastiyastu..sudah mebakti anak muda?”

“Sampun Pemangku, tiyang mau nunas tirta”

Lalu orang tua itu mulai mencipratkan air suci kekepalaku tiga kali, kemudian menuangkan air suci ke tanganku tiga kali untuk kuminum dan satu kali kuusapkan kewajahku, lalu mencipratkan tia kali lagi ke kepalaku. Dia tersenyum saat memberiku bunga yang kusisipkan di telingaku dan beras untuk kutempel didahiku dan di leherku lalu kumakan sisanya.

“Apa yang kau cari anak muda?” katanya

Sekali lagi aku terhenyak, dari mana dia bisa tahu aku aku sedang mencari sesuatu. Aku tidak langsung menjawab, hanya memandangnya sambil berkerut.

“Manusia memang harus mencari agar dia mendapat, karena burungpun harus terbang untuk mendapat biji untuk dia makan”

“Tiyang tidak tahu harus mulai dari mana Mangku”

Matanya tetap teduh dan dia menganguk-anggukan kepalanya

“Nanti malam jam 11.00 Bapak mau mekemit disini, silakan kalau mau ikut” lalu dia pergi dan melakukan kesibukannya untuk memberikan air suci kepada umat yang bersembahyang disitu.

Aku diam dan kupandangi Padmasana dari bagian bawah sampai bagian atasnya sampai akhirnya aku melihat matahari tepat berada diujung Padmasana. “apakah ini jalan menuju pencarianku Sang Hyang widhi?”

Jam 10.45 malam aku keluar dari penginapan dengan jaket tebal menahan udara dingin di lereng gunung Agung, aku berjalan ke Pura Besakih. Cahaya lampu yang temaram dibantu sinar bulan yang cukup terang menciptakan bayangan-bayangan tipis Pura yang sangat besar dan luar biasa…sangat indah. Aku masuk ke Pura dan Pemangku tua itu sudah duduk bersila didepan padmasana, dan setelah mengambil bunga aku ikut duduk disebelahnya, agak jauh kira-kira 2 meter disebelah kirinya, aku takut menggangu keheningannya. Dan aku pun sembahyang, aku tidak meditasi tapi aku duduk diam, melek dan menunggu Pemangku tua itu menyelesaikan keheningannya. 15 menit sudah aku duduk dan Pemangku itu tetap diam dalam heningnya, akhirnya tepat dimenit ke 17 dia bergesar dan berdiri. Dia melihatku dan berkata ,

“Ikuti aku”

Aku mengikutinya danpa mengeluarkan sau suarapun, suasananya sangat hening, seharusnya damai, tapi ada sedikit perasaan takut menyelimuti diriku. Di Bali banyak cerita-cerita mistik yang cenderung menakutkan dan menakut-nakuti orang. Dan akhirnya dia berhenti disebuah bale-bale yang cukup besar dan dia dudk bersila disana. Akupun mengikutinya dan duduk disampinya.

“Seharusnya kau sudah menemukan yang kau cari, ehm..ehm..siapa namamu?”

Dehamannya berat sekali seperti suara orang yang sangat berwibawa.

“Tiyang Yanto, Mangku”

“Sebetulnya kau sudah menemukan apa yang kau cari Yanto”

“Aku tidak mengerti apa maksud Mangku, Mangku tidak mengenal saya dan begitu juga sebaliknya, tapi Mangku tahu apa yang saya cari, bagaimana bisa?”

“Tidak ada yang tidak bisa di dunia ini bila Sang Hyang Widhi menginginkannya, ikuti mimpimu dan teruskan perjalananmu”

Dan tanpa menunggu respon dariku Pemangku tua itu berdiri dan berjalan meninggalkan aku, jalannya sekarang cepat sekali, seperti melayang.

Siapa yang harus aku cari, orang tua dalam mimpiku, kalau memakai pemikiran Bambang jelas nggak mungkin karena dia adalah leluhurku, lalu gadis berpakaian putih itu…dimana aku bisa bertemu dengan dia, dan Pemangku itu bilang bahwa sebenarnya aku sudah menemukan apa yang aku cari, siapa dia. Pikiranku nggak karuan arahnya, dia melayang kemana-mana dan akhirnya aku tertidur karena lelah dengan pikiranku sendiri.

Lanjutkan ke bagian 4>>

Tidak ada komentar: