Rabu, 16 Januari 2008

Pancasila dan Aku

Aku memperlambat langkahku saat kudengar suara yang kecil tapi tegas dan keras “Pembacaan Pancasila oleh Pembina upacara!” dan aku menoleh ke halaman sekolah dasar di desa yang sedang aku lewati. Temboknya ada beberapa yang terkelupas sehingga terlihat batu bata kering keputihan didalamnya, lubang angin diatas temboknya terbuat dari anyaman besi atau ram-raman yang mulai berkarat, bersahaja, itu saja, karena gedung sekolah itu masih berdiri dan murid-muridnya berdiri tegap melihat kedepan ke arah Pembina upacara.
Seorang anak laki kurus dengan seragam pramuka yang kebesaran melangkah menuju Pembina upacara, dan menyerahkan map biru muda berisikan text Pancasila, lalu menempatkan dirinya disebelah kiri kepala sekolah yang menjadi Pembina upacara. Aku bilang kepala sekolah karena dia memang terlihat paling ‘berwibawa’ dibandingkan guru-guru yang lain. Lalu aku mulai mendengar”…Pancasila…satu, Ketuhanan yang maha Esa.” Aku semakin memperlambat langkahku, “dua..Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga..Persatuan Indonesia. Empat…Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Lima…Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..” setelah itu sayup-sayup kudengar rentetan acara dari upacara sekolah disenin pagi.
Aku memang sering lewat sekolahan itu saat aku lari pagi, tapi kebetulan pagi itu pas upacara, dan pas naskah Pancasila dibacakan. Dan yang terlintas dibenaku setelah aku mendengar Pancasila dibacakan adalah..kapan aku terakhir sembahyang? Apakah aku sudah cukup adil terhadap anak buahku di kantor, terhadap anak-anaku? Mengapa aku masih berpikir bahwa suku ini lebih hebat dari suku itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaanku sebagai akuntan publik. Kenapa aku masih menerima uang titipan dari perusahaan pemerintah atau swasta yang aku audit dan ada kesalahan-kesalahan kecil di administrasinya? Dan lain sebagainya.
Selama ini aku cuma berpikir bahwa aku sudah sukses, aku punya rumah bagus, mobil bagus, aku sehat dan olah raga cukup. Dan yang jelas terakhir aku mendengar Pancasila adalah saat aku masih kuliah kira-kira 18 tahun yang lalu. Dan aku merasa cukup humanis dengan selalu member uang kepada pengemis dan nyumbang ke panti asuhan atau bahkan nyumbang untuk pembangunan tempat ibadah. Hanya saja tiba –tiba aku merasa aku ini belum apa-apa dibanding dengan apa yang aku inginkan sebenarnya ketika aku masih kuliah dulu. Aku ingin jadi orang yang jujur, membangun Negara dan lain sebagainya. Aku dulu juga sering mendemo pejabat yang korupsi baik korupsi kecil maupun besar, bahakan lurah yang terima sogokan pembuatan KTP pun kita demo, kita ingin mewujudkan Negara yang jujur teriaku bareng teman-temanku dulu. Tapi sekarang aku menerima uang dari para pejabat yang aku audit.
Sialan! Pengen cari udara segar malah dapat pikiran kotor yang buat pusing. Pikirku. Dan aku berusaha menghilangkan bayangan itu dari otaku, tapi justru bayangan itu makin menyelimuti otaku.
Sedemikian kuatkah Pancasila itu? Pikirku, sampai aku dibuat pusing saat lari pagi seperti ini. Aku mulai membayangkan para “founding father” Negara ini saat merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara ini, bagaimana merkea berdebat, bagaimana mereka berjuang agar Pancasila ini bisa dipakai oleh semua rakyat Negara ini, dari sabang samoai merauke dari berbagai macam kepercayaan dan agama, dengan tujuan agar rakyat punya budi pekerti yang luhur dalam membangun Negara ini. Jiwaku bergemuruh, marah dengan kelakuanku selama ini, tapi aku mikir dari mana aku bisa memperbaiki semua ini?
Sampai dirumah, istriku sudah menyiapkan segelas susu di meja teras, dan anak-anak sudah berangkat sekolah. Biasanya aku langsung minum segelas susu itu, tapi kali ini tidak. “Ma, aku ingin bicara” istriku mengangguk dan duduk dikursi sebelah meja berseberangan denganku.
“Amplop yang kuberikan kemarin masih kau simpan?aku akan mengembalikan ke mereka.”
“Masih mas, mengapa ingin kau kembalikan? Khan kita bisa pakai untuk menyumbang pembangunan mesjid di kampong sebelah”
“Kembalikan saja Ma, untuk sumbangan ke mesjid bisa ambil dari tabungan kita”
Istriku yang sangat penurut hanya mengangguk dan tersenyum sambil melirik kearahku. “Ok mas”
Aku segera mandi, dan selesai mandi aku berdoa di dalam kamarku, aku tahu ini bukan saat orang Islam untuk berdoa, tapi aku ingin bicara dengan Tuhan.
“Tuhan, rasanya aku mulai kesulitan membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dulu waktu aku masih belia aku selalu yakin mana yang benar dan mana yang salah. Tapi kini batas itu terasa tipis sekali, atau mungkin aku yang menipiskan batas itu agar aku dapat menikmati kesenangan dunia ini. Batas yang kutipiskan adalah yang penting aku tidak merugikan orang lain dan Negara, karena aku khan hanya menerima amplop terima kasih, yang kalau tidak kuterima yang tetap saja dihabiskan oleh para pengusaha itu, jadi lebih baik kuterima sehingga dapat untuk memperbaiki kehidupan orang banyak yang kusumbang. Tapi aku ingin memperbaiki itu Tuhan, Cuma aku harus mulai dari mana? Untuk mengembalikan semua amplop tersebut pasti akan membuat heboh banyak pihak. Atau mulai hari ini saja Tuhan, dan aku pasti hanya menghebohkan diriku saja, dan uang tersebut tetap kuberikan ke pihak yang layak menerima, dan uang tabunganku tetap akan kusumbangkan kepada ihak yang layak menerima juga. Tuhan aku tidak tahu apakah tindakan yang kulakukan ini benar atau tidak, tapi aku mau berubah menjadi benar tanpa menyusahkan banyak pihak. Dan juga satu lagi Tuhan, terima kasih karena Kau telah kirimkan Pancasila yang sakti ini ke Republik tercinta ini, sehingga aku aku bisa berbicara kepadaMu dipagi seperti ini. Tuhan aku sangat merindukanMu dan aku sangat berbahagia sekali hari ini. Terima kasih Tuhan”
Dab akupun berangkat kerja setelah mencium kening istriku dan anaku yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan. Dan aku juga tidak memencet klakson mobilku saat lampu merah berubah menjadi hijau, dan akupun tidak membuang putung rokok dari dalam mobilku di jalan raya, dan aku juga tidak mengkritik pemerintah saat minum kopi bersama kolegaku. Aku putuskan bahwa semua mulai dari diriku.

Tidak ada komentar: