Kamis, 17 Januari 2008

Wayan dari Seberang (Bag 2)

Petualangan Wayan Putra

Mau mengeluh sampai kapan? Keluhanmu, pencarianmu justru menjauhkanmu dari Tuhan. Begitu sibuknya manusia mencari Tuhan, sampai Tuhanpun terlupakan. Padahal yang sedang dicari berada dalam rumah sendiri.

PULANG

Terminal Ubung masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Cuma bedanya jarang sekali orang bule terlihat sekarang, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya sekarang. Mungkin ini efek dari bom yang diledakan oleh orang2 gila yang menurutku sok ngerti tentang kebenaran, padahal apa sih artinya kebenaran? Sampai sekarang aku masih yakin bahwa aku belum ngerti tentang kebenaran yang absolut. Dan puji syukur kuliah akhirnya bisa kuselesaikan sebulan yang lalu, berkat bantuan beberapa dosen yang sudah mulai bosen melihatku di kampusku.

Semua tawaran dari calo, kernet dan sopir aku Cuma tanggapi dengan senyum dan kalimat “nggak pak, Suksma.” Dalam pikiranku Cuma ada sepiring Nasi Babi guling depan terminal yang Ayahku selalu mengajaku untuk makan disana setiap saat turun dari bis di terminal Ubung ini. Makanlah aku disana. Kali ini aku nggak nambah, aku mulai belajar untuk berhenti makan sebelum kenyang seperti petuah-petuah para PeDharma Wacana yang sering kudengar saat sembahyang bersama di Pura Girinatha di semarang.

Nikmat sekali babi guling ini, apalagi kulitnya yang agak keras tapi mudah patah dan kemripik kalau orang jawa bicara.

Bemo pertama yang kutemui setelah aku keluar dari warung ‘Be’ guling langsung kunaiki. Denpasar ngga banyak berubah secara fisik, sejak bom Bali Cuma jalannya yang tambah macet, sepeda motor tambah banyak, hanya sekarang jarang terlihat mobil-mobil model terbaru yang lewat, padahal dulu saat pariwisata sedang top-topnya mau cari mobil baru apapun di Bali ada. Jadi kesimpulannya bagus juga krisis pariwisata ini, jadi pembelajaran masyarakat diBali untuk berlatih tidak konsumtif.

Aku tinggal di rumah adik ayahku Bapa Roti namanya, seorang guru di sebuah SMP negri di Denpasar, dan karena istrinya adalah wanita yang kreatif, membantu ekonomi keluarga dengan cara berjualan pakaian dan kain di pasar Kumbasari Denpasar, secara ekonomi keluarga tersebut agak menonjol. Dan keluarga ini menurutku juga luar biasa, disaat krisis seperti ini mereka masih bisa bertahan dan cenderung sedikit meningkat. Saat kondisi Bali sepi dari wisatawan, suami istri ini tidak trus diam dan meratapi kondisi yang buruk itu. Tapi mereka bicarakan kesulitan-kesulitan tersebut bersama dengan anak-anaknya. Mereka memiliki dua anak laki-laki, Pasih dan Tukad. Yang mereka harapkan dari pemberian nama tersebut adalah agar anak-anak mereka bisa saling mengisi dan saling membantu dikemudian hari. Pasih artinya pantai dan Tukad artinya sungai. Terus terang saya kagum terhadap om saya yang satu ini, cara dia hidup dan berbicara benar-benar memperlihatkan seseorang yang sudah membaca ratusan buku (dan dimengerti serta dilakukan intisari terbaiknya). Nah..dalam pembicaraan tersebut Tukad yang bekerja sebagai seorang supervisor receptionist di hotel bintang lima di nusa dua punya ide untuk mencoba memasarkan kain-kain khas Bali ke luar negeri melalui relasi-relasi yang dia kenal (tamu-tamu hotel). Singkat cerita semua setuju, dan mereka gotong-royong bekerja dan mulai menyiapkan surat-surat penawaran dan brochure serta contoh kain yang akan dikirim keluar. Di dalam surat itu Tukad dengan lugasnya meminta tolong kepada tamu kenalannya untuk dibantu dalam menjual kai-kain tersebut. Dan perlu diketahui Tukad adalah seorang pemuda yang ‘sepengetahuanku’ tidak pernah mengeluh dan gampang sekali membantu seseorang biarpun dia nggak kenal, dan hasil akhirnya mereka dapat memulai export barang ke Sidney, Belanda, dan beberapa Negara di Eropa. Memang nilainya belum besar dan belum satu container penuh di setiap pengiriman, tapi bagiku hal tersebut sudah merupakan hal yang luar biasa, dengan cara yang sederhana ‘mau minta tolong’ bisnis antar Negara bisa terjadi.

‘Om swastiyastu’ sapaku ketika memasuki pintu gerbang rumahnya yang kecil khas Bali.

‘Eii..Wayan’ seru Bibiku dengan logat Balinya yang kental.’Mari..mari masuk, Meme meneruskan mebanten dulu ya, Tut, tolong buatin bli Wayan the panas’ serunya kepada salah seorang pembantunya.

Meme Made masih sama seperti biasanya, hangat, polos dan bersahaja dengan kain dan beju kebaya sederhana sebagai pakaian sehari-hari.

Teh panasku datang dan seperti biasa disertai jajan Uli dan Bantal, dan langsung kumakan kedua jajan itu dan nikmat sekali the hangatnya.

Lima menit sudah aku merebahkan tubuh di teras salah satu bangunan dirumah tersebut, Sanur memang selalu adem, dan gaya rumah Bali yang dibangun terpisah-pisah memang menurutku dirancang agar empunya dan tamu rumah tersebut betah untuk tinggal disana. Tapi apa daya, generasi sekarang pasti sulit sekali untuk bisa membagun rumah seperti ini, bagaimana bisa, mau ambil rumah perumnas dengan nyicil saja kesulitan.

‘Apa kabar Yan?’ seru Me Made sambil ikut duduk di lantai disebelahku, aku langsung bangun.

‘Baik Me, Me Made sekeluarga sendiri bagaimana?’

‘Baik, kami selalu baik, selama kita percaya, pasti Sang Hyang Widhi selalu beri yang terbaik untuk kita’

Jawaban dan Me Made ataupun suaminya selalu membuat hatiku nyaman, dan adem sekali mendengarnya. Religius, tapi tidak terdengar munafik karena aku bisa melihat keseharian mereka yang memang bersahaja, tenang dan tidak berlebihan.

‘Sana kamu istirahat dulu, mau mandi trus tidur dulu atau bagaimana terserah Wayan, yang jelas Me Made seneng banget dapat telpon dari ayahmu, dan kasih tahu bahwa kamu mau tinggal di Bali dan cari rejeki disini, kamarmu seperti biasa, dan handuk juga sudah Me Made sediakan disana.

Aku masuk kamar mandi, dan merebahkan tubuhkan di kasur yang terlihat mengundang, niatnya sih sebentar, tapi ternyata rasa capek tak bisa dibohongi, aku tertidur sampai hari sore.

Malamnya kami kumpul makan malam bersama, dua sepupuku sekarang terlihat lebih matang dari dua tahun yang lalu kita bertemu. Memang kesulitan akan mengakibatkan satu hal dari dua kemungkinan yang ada, pertama orang itu akan bertambah kuat dan matang karena dia mau bertempur dan tidak mau mengalah terhadap kesulitan itu, dan yang kedua orang tersebut akan semakin tenggelam karena dia mendalami atau istilah kerennya mempelajari kesulitan itu, sehingga semakin lama dia semakin stress karena semakin dalam kita memikirkan kesulitan itu, ya semakin kita sulit untuk mendapatkan jalan keluar. Maka lompatlah dari kolam kesulitan. Tukad seperti biasa terlihat tenang dan melayani kami semua, dan Pasih juga masih semangat sekali bicaranya meledak-ledak tapi punya rasa hormat, dan mata mereka memancarkan semangat hidup, menyatakan bahwa mereka punya harapan untuk sesutau yang lebih baik.

‘Yan, pacaramu orang jawa ya? Orang jawa khan cantik-cantik’ kata Pasih

‘Belum punya Sih’

‘Belum punya atau belum tahu mau pilih yang mana? Katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan yang lain ikut tertawa. Tidak salah ayahku memintaku untuk menjadikan rumah ini sebagai persinggahan pertama di Bali sebelum aku berkunjung ke rumah saudaraku yang lain. Makan malam itu berjalan dengan sangat hangat, kami saling bertukar cerita, dan akhirnya aku menjelaskan tentang tuuanku ke pulang ke Bali, dan mereka sangat senang, tapi mereka kaget setelah mendengarkan rencanaku bahwa aku akan keliling Bali naik sepeda dan mendaki gunung Agung sendirian dan mekemit di Besakih kira-kira dua hari lagi.

Yan, apa kamu yakin dengan rencanamu itu? Sudah pasti semua uwak disini tidak akan memperbolehkan kau melakukan hal itu, dan sudah pasti kau akan tetap pergi biarpun dilarang, seperti dulu saat bapakmu pergi ke Jawa, kata Bapa Roti sambil menghembuskan nafas panjang kegelisahan.

Kami semua diam, aku diam karena aku tidak akan melawan pamanku secara verbal.

Lalu Me Made angkat bicara, “apa yang kamu cari Yan?”

“Wayan hanya ingin belajar Me, nggak lebih”

“Kau sudah belajar dari sekolah, dan dari hidupmu sampai kau punya warung bakso”

“Itu nggak cukup Me, aku merasa ada hal lain yang akan dan harus aku ketahui”

“Tapi…..” belum Me Made meneruskan kalimatnya, Tukad menyela.

“Biarkan Wayan ngomong tentang apa yang dia mau Me”

Semua diam dan melihat ke aku, setelah sebentar melihat ke Tukad, dan aku menjadi sangat tegang sekali untuk mengutarakan apa yang benar-benar menjadi tujuanku, sebenarnya aku ke Bali bukan karena aku disuruh Ayahku, disuruh pergi kemanapun aku akan mau akrena aku akan mencari TUHAN disitu. 22 tahun umurku, tapi aku merasa belum mengenal Tuhan, aku ingin berkenalan denganNya. Selama ini aku Hindu dan ya tentu aku pergi ke Pura untuk sembahyang, tapi aku juga nggak pernah merasa canggung untuk masuk ke Masjid, Wihara, Gereja Klenteng atau tempat apa saja dimana manusia “katanya” bisa bertemu dan bicara dengan Tuhan. Ini tujuanku sekarang. Tapi aku mersa malu dan canggung untuk mengungkapkan hal itu kepada saudara2ku, sampai kemudian…”aku ingin belajar hidup Me”

“Yan, kau bicara seolah-olah kau sudah berumur hamper 40, dimana kebanyakan anak seumurmu masih sekolah belajar fisika, matemateka dan ekonomi, dan terus terang Bapa mersa senang dan sekaligus kawatir dengan apa yang engkau akan lakukan” kata Bapa Roti. “Tapi semua terserah kamu, dengan usiamu memang kamu harus mulai belajar untuk hidup sama seperti jaman ayah dan pamanmu dulu, anak sekarang banyak yang nggak ngerti diupnya itu harus seperti apa? Tapi kau sudah mulai tahu, pergilah dan mintalah pada kami apa yang bisa kami berikan untuk perjalananmu”

“Terima kasih Pa Roti”

“Rencana kamu mau keliling berapa hari Yan?” Tanya Pasih

“Nggak tahu Sih, aku merdeka, aku belum punya tanggungan, pacar saja aku belum punya, mungkin seminggu mungkin dua minggu, aku akan sms setiap hari untuk kasi tahu dimana posisiku”

“Yan, aku pengen ikut” kata Tukad

“Tapi aku ingin sendiri”

Semua tambah diam ketika aku menjawab seperti itu, dan makan malam yang hangat itu mulai berubah menjadi makan malam yang dingin. Dan aku tidur.

Orang tua itu tersenum kepadaku dan berbicara “Anak muda, kau lihat wanita yang sedang mengembalakan rusa di pinggir sungai itu? Dia juga sama seperti kau di sedang mencari, mungkin kau bisa bersama-sama dengannya dalam pencarian itu” Dan aku melihat seorang wanita dengan pakaian semua serba putih, wajahnya tenang, dan terlihat dia mencuci pakaian dengan tenang dan senang, dan dia menoleh sebentar ke arahku dan tersenyum.

Orang tua itu meneruskan pembicaraannya,”manusia memang harus mencari, karena saat mencari itulah menjadi saat yang penting baginya, tapi kau tidak boleh lupa untuk membagi karena disitulah bahagia itu ada”

Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun, aku takjub dengan orang tua itu, dan aku takjub dengan ketenangan wanita yang terus memberi makan rusa, sangat damai dan semua rusa itu terlihat sangat menghormatinya. Dan suara gesekan sapu lidi di luar kamarlah yang membangunkan aku dari mimpi yang damai itu. Mencari!...ya…memang aku harus mencari.

Lanjutkan ke bagian 3>>

Tidak ada komentar: