Senin, 04 Februari 2008

Kebahagiaan

Aku baru saja belajar tentang sebuah makan kebahagiaan dari anaku yang kedua “Dena”. Nama lengkapnya Ni Made Purnama Komang, dia lahir tepat saat bulan purnama, dan wajahnyapun sangat cerah seperti bulan purnama yang menerangi malam gelap.

Sabtu sore menjelang malam, 2 Februari 2008. Dalam hati aku sudah memutuskan untuk tidak sembahyang hari raya Kuningan di pura Giri Natha Semarang, hujan gerimis mulai tambah membesar, dan istriku sibuk menyiapkan banten atau sesaji yang akan kita pakai untuk persembahan. Luhde anaku yang pertama terlihat males-malesan, tidak seperti biasanya yang mana dia sangat dan selalu bersemangat untuk apapun acaranya, apalagi ke Pura dimana dia bisa bertemu dengan teman-teman bermain selain teman sekolah, dan Nyoman anaku yang ketiga sakit perut “mencret” mungkin masuk angin. Sedangkan Dena tiduran di kursi teras karena dia baru saja bangun dari tidur siang yang kesorean.

“Dena, kita sembahyang dirumah saja ya, nggak usah ke Pura khan hujan? Kataku kepadanya sambil setengah memaksakan kehendak seperti biasanya orang tua kalau mau memaksakan sesuatu kepada anaknya.

Terlihat bibirnya agak maju, yang mana itu tandanya dia tidak setuju, dan matanya seolah mengatakan bahwa dia ingin sekali ke Pura. “Khan bisa naik mobil pak?” serunya lirih.

Lalu terdengar telepon, dan kata Rati “mbaknya Dena”, nenek mau bicara. Ditelepon mamiku memintaku untuk menjemputnya, karena dia sudah mberusaha menelpon taxi selalu penuh, dan papi sudah berangkat duluan ke Pura karena Papi selalu datang awal untuk menyiapkan pelengkap upacara seperti bunga, air suci, sound system dll. Dan tidak mungkin aku sebagai anak menolak permintaan orang tuaku, lalu aku putuskan untuk segera berangkat, menjemput mamiku, dan Yosie istriku tinggal dirumah untuk menemani Nyoman.

Sepanjang perjalanan aku merasa tegang dan tidak nyaman, mungkin karena separo hatiku pengennya dirumah “belum ikhlas” dan yang pasti aku takut mobilku mogok, karena mobil Daihatsu zebraku ini kalau kena banjir atau genangan yang agak tinggi suka mogok, jadi aku merasa nggak enak banget. Sementara Luhde dan Dena selalu menyanyi mengikuti semua lagu yang terdengar di radio, sampai akhirnya separo perjalanan Dena mengatakan seusatu yaitu membuat kepalaku serasa dipukul oleh kepalan tangan yang sangat padat.

“Bapak kok tidak terlihat bahagia, kenapa?”

Aku merasa sedikit ‘blank’ mendengar pertanyaan seperti itu, lalu aku katakana kepadanya, “Bapak bahagia Den, sangat bahagia” sambil kupaksakan diriku tersenyum.

“Tapi wajah bapak tidak bahagia”

Aku rasanya mau menangis, perasaanku nggak karuan, menyesal, marah, campur aduk. Hanya karena pengen tidur dan takut mogok aku sudah memperlihatkan wajah yang tidak enak dipandang kepada kedua anaku, merusak suasana ceria yang mereka tunjukan. Dan aku yakin Sang Hyang Widhipun sangat sedih melihat itu, sampai-sampai Dia berbicara melalui anaku untuk memperingatkanku.

Lalu aku bilang ke anaku “Maafkan bapak, bapak tadi tegang sekali karena bapak takut mobilnya mogok, dan sekarang bapak merasa sangat berbahagia, sangat bahagia karena memiliki anak-anak yang hebat seperti Luhde dan Dena”

Dan perjalananpun lancar, lalu kami sembahyang d Pura bersama dengan umat lain termasuk papi mamiku. Lalu kami pulang.

Malam itu aku mendapatkan salah satu arti bahagia yang sangat sederhana dari anaku, yaitu lakukan semuanya dengan ikhlas dan pasrahkan semuanya kepadaNya. Dan aku semakin yakin untuk selalu berusaha lalui hari-hari dengan sesuatu yang lebih baik dari hari kemarin sesedikit apapun agar hidup ini bisa lebih punya makna dan berguna bagi orang-orang disekitar kita.

Semarang, 4 Februari 2008

Tidak ada komentar: