Kamis, 10 Desember 2009

Gustiku, Gustimu

Cuma dia yang masih sering mengunjungiku. Kadang seminggu sekali, kadang sebulan sekali, lebih sering sebulan sekali. Awalnya aku tak begitu perduli dengan apa yang dilakukannya, namun seiring berjalannya waktu, aku jadi perduli. Mungkin ini karena kesadaran. Aku sekarang hidup sendiri. Kutinggalkan desa kelahiranku untuk hidup sendiri. Sebenarnya aku tak ingin sendiri, mereka yang memaksaku. Mereka menghujat ibu dan ayahku. Bahkan hampir membunuhnya kukira. Masih kuingat saat parang tajam berkarat itu menempel dileherku. Katanya “kau yang pergi atau kau sekeluarga habis”. Menurut mereka aku penyebab kericuhan di kampung, namun aku sendiri tak ingat kericuhan apa yang kutimbulkan. Yang bisa kuingat hanya Gondo, anak pak kepala dusun yang juga orang paling kaya didusun meludahi sesaji yang aku taruh di mata air belakang rumah kami. Aku marah, aku hantam kepalanya dengan kepalan tanganku yang keras karena terbiasa membelah kayu, dan dia tersungkur, lalu bangkit dan berlari dengan mata penuh dendam.

Seminggu setelah kejadian itu, rumahku sering didatangi hal-hal yang tidak menyenangkan. Suatu malam tiba-tiba sebongkah batu sebesar dua kepalan tangan menembus genteng rapuh dan jatuh berdegum didepan ibuku yang sedang makan, ibu kaget dan menangis sepanjang malam. Lalu ada taburan garam didepan pintu dan segumpal tanah aneh dibungkus kain putih, kemudian ayam milik ayah mati dengan mulut berbusa. Sampai puncaknya disuatu malam ada sekitar seratus orang yang aku sendiri tak tahu siapa mereka, yang pasti mereka bukan orang dusun sini. Ratusan orang itu berteriak laksana prajurit yang akan menghancurkan lawannya. Kami ketakutan, wajah ibu pucat dan ayah geram menahan amarah.
“ijinkan aku keluar ayah” pintaku. Dan mata itu, sinar mata yang tak akan pernah kulupakan seperti mengatakan bahwa dia ingin menemaniku keluar untuk hadapi orang-orang tak dikenal itu, namun dia juga tak kuasa meninggalkan wanita yang dicintainya duduk lemas dengan wajah pucat. Dan dia Cuma mengannggukan kepalanya, dan aku tahu dihatinya dia berkata “hati-hati nak, Gusti bersamamu”
Dan aku keluar melangkah keluar tanpa membawa apapun untuk melindungi diri. Takut, ya aku sangat takut saat itu, namun aku lebih takut bila aku harus melihat orang-orang yang seperti lupa diri itu menghancurkan ayah ibuku.
“apa maumu?” tanyaku
“kamu orang najis, haram, buat nama desa jadi hancur” kata seorang laki-laki berwajah Sengkuni.
“Ya, kamu kafir penyembah pohon!”
“Dasar bangsat! Penyembah patung, Gusti tak perlu kau beri bunga, jahanam!
“aku tidak menyembah pohon! Aku menyembah Gusti” kataku
“ah…persetan, pokoknya kau harus pergi dari desa ini!”
“ini rumahku, aku lahir disini, tolong jangan suruh aku pergi”
“ah..jangan banyak omong, pergi! Atau kami bakar rumah dan penghuninya!”
Aku kalut, takut, marah dan bingung. Terbayang ayah dan ibu terbakar dalam rumah dan mati. Aku tak mau itu terjadi. Dan orang-orang itu mulai mendorongku, bahkan ada yang mulai melemparkan obor ke halaman rumahku.
“Ya..ya..ya…aku pergi”
Lalu orang-orang itu segera menarik tanganku dan mendorongku sampai aku terjatuh, dan aku terus terjatuh sampai akhirnya aku tersungkur di batas desa dengan hutan angker yang ditakuti warga dusun.aku tersungkur dan tak bangun lagi. Semua sepi. Sampai akhirnya dingin air hujan membangunkanku.

Aku kini sendiri, dan kata mereka juka aku kembali maka ayah dan ibuku akan hilang. Aku sedih, kata ayah hanya Gusti yang berhak menghilangkan manusia, namun kali ini manusia-manusia yang tak kukenal itu mengancam aku akan menghilangkan kedua orang tuaku.

Tangisku kini kering bila mengingat malam itu, tertawapun aku tak sanggup. Aku hanya bisa tersenyum bila dia datang ke gubuku. Aku pernah bertanya mengapa dia tak menikah? Awalnya dia menangis, namun tak menjawab satu katapun, dan akhirnya dia tak pernah mengatakan apapun dan aku tak pernah bertanya apapun. Saat bertemu, kami hanya bicara tentang burung yang berwarna tiga denan paruh putih dan bersungut ungu, tentang lekuk batu yang terbentuk oleh air terjun tempat kita mandi bersama, tentang rimbunnya daun pohon di hutan yang ditakuti oleh penduduk dusun.

Dia yang dulu sangat dekat denganku kini menjadi semakin dekat denganku. Dan perlahan aku tahu bahwa anak kepala dusunpun menginginkan dia, namun dia tak mau hingga akhirnya anak kepala dusun itu memmbenciku sampai ke akar. Dan akhirnya akupun tahu bahwa orang-orang beringas yang hamper membakar rumah kami adalah orang bayaran si Gondo. Tapi sudahlah, aku sudah tercatat di sejarah dusunku sebagai salah satu noda hitam yang memalukan. Dan dengan berjalannya waktu, itu sudah tak menjadi beban pikiranku, lebatnya pohon, beningnya air dan suara burung di hutam ini sudah mengajariku untuk memaafkan semuanya. Dan kudengar aku sudah punya adik perempuan berumur 3 tahun, aku beryukur karena Tuhan telah memberikan pengganti kepada orang tuaku yang aku yakin lebih baik.

Dan kembali lagi tentang dia, katanya dia tak ingin lagi kembali ke dusun. Dia ingin tinggal di hutan bersamaku, terasing dengan dari kebencian untuk bergabung dengan kedamaian katanya. Perlu waktu yang cukup lama untuku untuk mengiyakan permintaannya untuk tinggal bersama di hutan nan lebat dan damai ini. Dan kurasa sudah cukup lama dia membuktikan bahwa kami memang ditakdirkan untuk bersama. Dan bersatulah kami beranak pinak di hutan kami, bersama Tuhan kami kata orang dusun. Dan kata ayahku yang sempat datang untuk memperkenalkan aku kepada adiku yang sudah menginjak remaja “kasihan orang-orang, mereka tetap berpikiran bahwa Gusti mereka dan Gustiku berbeda, entah sampai kapan mereka akan berpikir seperti itu, kita serahkan saja kepada Gusti.

Tidak ada komentar: