Kamis, 13 Maret 2008

Ibu dan Pakde

Waktu itu, berat sekali rasanya. Ibu saat itu hanya punya pikiran kuatkah aku menghadapi semua kejadian ini. Berat sekali rasanya membawa rasa dalam dada ini.

Kalimat itu memaksa aku untuk kembali duduk dikursi makan diseberang kursi tempat ibuku duduk, kami berhadapan. Semua janji bisnis yang sudah kubuat untuk malam ini aku batalkan. Pembicaraan ringan yang biasa kita lakukan berubah menjadi pembicaraan yang menurutku ‘berat’. Suara ibu bergetar saat mengucapkannya.

“Mengapa pakde dipenjara Bu?”

“Tidak tahu nak, ibu masih kecil saat itu, ibu masih kelas lima SD, yang ibu ingat hanya kira-kira 3 hari sebelum kejadian, ada seorang teman dari pakdemu yang menginap di rumah”

“Teman itu siapa?”

“Ibu juga belum pernah melihat sebelumnya, tapi kata nenekmu, dia adalah teman dari pakdemu yang mungkin sedang susah, ya udah biar saja nginep disini kata nenekmu saat itu”

“Setelah pakdemua ditangkap, kakekmu mulai sakit-sakitan, kami saat itu miskin sekali dan susah, kami delapan bersaudara dan semua masih sekolah, pakdemu saat itu sudah SMA, dan sangat pintar, dialah yang ‘digadang-gadang’ oleh kakekmu agar bisa jadi orang dan bisa mengangkat harkat keluarga”

“Lalu pakde ditangkap begitu saja tanpa ada surat penangkapan atau pengadilan?”

“Ibumu juga tidak tahu, nenekmu buta huruf dan kakekmu adalah orang yang paling nrimo, dibeginikan tidak marah, dibegitukan juga tidak marah”

Aku diam membayangkan wajah almarhum kakeku yang sudah meninggal saat aku masih duduk di kelas tiga SD. Matanya cekung, dan memang kakek tidak pernah marah sedikitpun kepadaku, bibirnya selalu tersenyum, siapapun akan merasa damai saat melihatnya.

“Setiap kamis sore kakek selalu bilang ke nenekmu untuk menjemur irisan tempe itu sampai kering agar lebih awet, dan sabtu sorenya, kering tempe itu dikirim ke pakdemu dipenjara” …ibu terdiam dan kulihat matanya mulai berair, aku pegang kedua tangannya, dan tangan kami saling berpegangan di atas meja makan yang beralaskan kaca yang sangat dingin karena sore itu hujan mulai turun.

“Setiap sabtu siang, kakek dan nenekmu naik sepeda menengok pakdemu dan mengantarkan kering tempe kesukaan pakdemu, sampai akhirnya kakekmu sudah tidak sanggup lagi mengayuh sepedanya karena sakit paru-paru”

Ibu berhenti sebentar menarik nafas dalam-dalam, seperti mencoba mengingat rasa tidak enak yang pernah dia rasakan dulu.

“Saat itulah ayahmu datang, dan bahkan sebelum menikah dengan ibu, ayahmu sudah mengambil sebagian tanggung jawabnya, dialah yang memboncengkan kakek atau nenekmu untuk pergi mengantarkan kering tempe untuk pakdemu”

Aku tersenyum mendengar hal itu, ibuku selalu bangga saat menceritakan bagian itu, dan bagiku itu sudah cukup untuk menjadi bukti cinta dari ibuku untuk ayahku, demikian juga sebaliknya.

“Sampai suatu saat, ibu mencuci rantang tempat kering tempe setelah nenekmu pulang dari menengok pakdemu, saat itu ibu merasa aneh, kenapa jari dan telapak tangan ibu menjadi kehitam-hitaman setelah memegang bagian belakang rantang? Ternyata setelah ibu balik, dibagian belakang rantang tersebut pakdemu menuliskan pesan-pesannya. Ibu sangat sedih sekali, berarti selama ini ibu sudah banyak menghapus surat-surat yang pakdemu tuliskan untuk ibu sebagai anak yang paling tua dirumah setelah pakdemu masuk penjara”

Aku sudah tidak sanggup lagi menahan air mataku. Air mata itu mengalir seiring dengan bertambahnya rasa hormatku kepada ibuku. Susah yang kualami sekarang sebagai kepala keluarga tidak ada apa-apanya disbanding dengan betapa sedih, perih dan susahnya ibuku saat itu. Ibu masih duduk di kelas 5 SD saat itu dan dia harus mengambil tanggung jawab perasaan sebesar itu.

“Mengapa pakde harus menuliskannya di rantang? Kan tinggal tulis surat saja atau titip pesan lewat nenek”

“Saat itu, semua surat pasti disortir dan setelah disortir pasti dimusnahkan, tidak perduli apapun isinya, dan pakdemu adalah orang yang bijak dan cerdas, dia tidak kehilangan akal makanya dia tuliskan semua pesannya dibagian belakan rantang dan dia tahu bahwa adiknya pasti akan membacanya”

“lalu mengapa dia tidak titip pesan ke nenek saja”

“Dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya, dia tahu orang tuanya sudah cukup menderita dengan memikirkannya”

Aku terbayang wajah pakde yang menurutku memang cerdas, dan aku merasa bahwa sampai saat ini aku sangat tidak cukup memberinya perhatian dan bahkan rasa hormat.

“Apa saja isi surat itu Bu?”

“Banyak, tapi kebanyakan pakdemu meminta ibu untuk selalu membantu kakek nenekmu betapapun capeknya badan ibu, dan lebih sabar dalam membimbing om-om dan tante-tantemu. Dan dia juga meminta ibu agar lebih berhati-hati dalalm bergaul serta giat belajar agar tidak menyusahkan orang tua.

“Cuma itu”

“Ya, dan pakdemu tidak pernah bosan untuk mengulang pesan-pesannya dan ibumu juga tidak pernah merasa bosan untuk membaca pesan-pesan dirantang itu”

Aku menarik nafas agar lebih tenang dan tidak terbawa emosi, sedangkan ibuku sudah terlihat lebih tenang.

“Ibu tidak benci terhadap orang yang memenjarakan pakde?”

“Dulu ya, tapi lama kelamaan ibumu merasa bahwa benci tidak mengobati sakit hati ibu. Semakin ibu membenci ibu semakin tidak tahu kepada siapa orangnya yang harus ibu benci”

Semarang, 14 Maret 2008

AKu menganggukan kepala pelan sekali. Ibuku benar, tidak ada jalan lain selain memaafkan atau tidak memikirannya sama sekali. Lupakan!

Tidak ada komentar: