Senin, 13 April 2009

Puber

Harusnya aku tak menyapanya saat itu. Ya, memang saat itu waktu berlalu begitu cepat dan aku merasa apa yang kulakukan adalah diluar kendali wajarku, aku memang gugup namun ada sesuatu yang memaksa semua itu untuk terjadi. Saat itu kami berpapasan di sebuah mall, aku baru saja beli buah dan dia berjalan dari arah pintu masuk. Jantungku berdegup keras sekali saat aku melihatnya berjalan ke arahku dan aku berharap diapun merasakan hal yang sama. Aku menyapanya dan kami berdua berhenti dan berbicara sebentar di tengah keramaian mall. Dan akhirnya kami memutuskan untuk makan malam bersama di sebuah café di mall tersebut.
“Kau tidak bersama suami dan anakmu?”
“Kamu juga sendiri, keluargamu mana?”
“Anak-anak dirumah dan istriku masih di kantor rapat bareng bosnya”
Kemudian suasana menjadi hening, dikepalaku suara ramai di mall menjadi seperti film bisu, hanya orang-orang yang lalu lalang, dan dia terus menunduk sambil sesekali menengadahkan wajahnya untuk melihatku sekejap dan terus berpaling kea rah yang lain. Dan akhirnya pandangan kita bertaut untuk beberapa saat. Oh uhan dia sangat cantik sekali, lalu bayangan wajah istriku melewati pandanganku berusaha mengalahkan wanita didepanku. Ingin sekali aku kalah dan tetap memikirkan istriku yang memang sangat aku cintai, sampai sekarangpun aku merasa sebagai laki-laki yang beruntung memiliki istri cantik dengan karir yang baik dan anak-anak yang lucu serta baik, aku merasa memiliki keluarga yang bahagia lahir batin. Lalu bayangan istrikupun menghilang dan kembali aku melihat wajahnya yang cantik juga. Aku jatuh cinta lagi.
Kami berdua bercerita tentang keluarga kami masing-masing, dia bercerita tentang suaminya yang karirnya juga sedang melesat, hampir setiap minggu mereka selalu bisa meluangkan waktu untuk pergi ke luar kota bersama, dan dia juga seperti aku merasa sebagai wanita yang beruntung memiliki suami yang baik lahir dan batin serta anak-anak yang baik.
Lalu kami sepakat untuk makan malam bersama lagi minggu depan.
Sepanjang minggu aku tak bisa melepaskan diri dari bayangannya. Bangun tidur, bekerja, bahkan saat bersama istrikupun. Aku merasa terganggu namun akupun juga merasa bahagia. Dan aku tidak ingin kehilangan istriku, aku tak pernah ingin mengecewakan istriku, aku mencintainya.
Dan hari dimana makan malam itu harus terjadi lagi tiba. Pulang kantor aku langsung ke café di lereng bukit yang tenang dan tersembunyi, dan ternyata dia sudah disana dengan sebuah buku novel kelihatannya. Disamping tangan kanannya secangkir kopi yang masih berasap.
“Hai, sudah nunggu dari tadi?”
“Nggak, baru habis baca dua halaman”
“Kau suka baca buku ya?”
“Ya, aku banyak menghabiskan waktuku untuk baca buku selain bekerja dan mengurus keluarga, kamu sendiri?”
“Aku lebih suka menghabiskan waktuku untuk menonton DVD, aku lebih memilih untuk melihat dan mendengar dari pada membaca”
“kalau kau suka membaca, kau pasti akan lebih hebat dari padi kau sekarang” katanya
Dan kami mnghabiskan waktu dengan membicarakan buku-buku yang dia baca dan film-film yang aku tonton. Dan aku merasa sangat terhibur, hatiku bergejolak, adrenalin atau apakah itu namanya terasa memompa aliran darahku. Aku sangat bersemangat dan aku merasa sangat hidup. Dan aku tambah merasa sangat bersalah terhadap istri dan anak-anaku.
Semenjak itu aku hidup diantara dua wanita, istriku dan dia. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar jatuh cinta kepadanya, yang jelas aku merasa lebih siap kehilangan dia ketimbang istriku, dari situ aku bisa menilai bahwa cintaku kepada istriku lebih besar dibandingkan dengan rasa ‘sukaku’ kepadanya. Aku bersyukur karena aku masih sangat mencintai istriku. Dan ‘dia’ adalah hiburan bagiku, namun hiburan itu sudah kurasa mengganggu. Perasaan itu sudah hampir sama dengan perasaan saat aku masih mendekati istriku dulu, saat aku belum mengatakan cinta pada istriku dulu. Ya Tuhan, tolong aku, aku takut jatuh cinta lagi. Aku takut tak sanggup menguasai nafsu itu. Aku tetap ingin menjadi suami dari istriku. Namun aku juga ingin beberapa saat bersamanya. Tuhan bantu aku untuk bisa melupakannya, dan dia terlalu kuat dan cantik untuk dilupakan.
Suatu malam saat ritual makan malam bersama lagi.
“Sudah 3 bulan kita melakukan makan malam bersama setiap dua minggu sekali, aku merasa ada yang tidak benar mulai tumbuh di hatiku, bahkan sebenarnya perasaan itu sudah ada jauh sebelum kita melakukan ritual makan malam bersama ini”
“Apa maksudmu dengan perasaan yang tidak benar”
Setelah tiga bulan kita menjalani ritual makan mala mini, cara dan nada bicara antara kita sudah berbeda, aku merasa bahwa kita sangat dekat. Kadang aku ingin sekali menciumnya, namun hal itu tak pernah aku lakukan. Aku menghormatinya dan selain itu aku juga sangat menghormati istriku. Jadi selama itu pula kami hanya makan bersama, bercerita, tertawa tidak lebih dari itu. Selebihnya aku pendam dalam-dalam di hatiku. Aku tidak tahu dengan bagaimana perasaanya, apakah dia juga punya perasaan sama dengan perasaanku. Aku tidak tahu.
“Aku semakin menyukaimu”
“Lalu apa salahnya kalau kita saling menyukai, aku senang kau menjadi teman dekatku”
“itu masalahnya, aku bukan hanya mau menjadi temanmu, aku mulai ingin lebih, aku mulai mencintaimu, maaf kalau aku lancang”
Wajah cantik itu terlihat kaget, dia diam dan matanya berair dan butiran itu mulai menetes, mengalir melewati pipinya yang bersih, dan dia diam. Aku diam, aku bingung.
“Mungkin sebaiknya dulu aku tidak perlu berhenti untuk menggantikan ban mobilmu, dan mungkin adalah suatu kesalahan ketika kita saling bertukar nomor handphone”
“Dan kau anggap juga suatu kesalahan ketika aku mengiyakan untuk makan malam kita yang pertama?”
Wajah lembut itu mulai mengeras, matanya memerah terlihat kecewa.
“Mungkin” jawabku singkat. Aku sudah bertekad dalam hati untuk mengakhiri semua ini. Aku harus kembli sepenuhnya untuk istriku. Aku terlalu mencitai istriku. Biarpun aku juga merasa kalau aku mulai mencintai dia.
Kami berdua diam, saling menunduk. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, dalam pikiranku aku berpikir bahwa aku adalah seorang laki-laki pengecut yang telah mengambil hati istri laki-laki lain. Tidak seharusnya aku seperti itu. Aku seharusnya menghormati dia. Dia sama sekali tidak dicampakan oleh suaminya, dia dicintai dan dihormati oleh suaminya. Hatiku sakit sekali. Lalu bayangan istriku kembali melewati mataku. Aku harus menghendtikan ritual makan mala mini, aku telah mendustai istriku dan suaminya.
“Ini adalah makan malam kita yang terakhir, kalaupun suatu saat nanti kita ditakdirkan untuk bertemu kembali, maka pertemuan itu adalah antara aku dan istriku bersama kau dan suamimu”
Wajah tegangnya sudah mulai berubah, dia sedikit lebih tenang dan mulai bisa menguasai diri. Itu terbaca dari gerakan tubuhnya.
“Sampaikan salamku untuk suamimu bila kau mau, dan akan kuceritakan makan malam terakhir ini kepada istriku agar dia tahu bahwa semua sudah kembali seperti dulu”
Dan kami berpisah malam itu, aku tersenyum mengantar kepergiannya. Dan aku merasa ada bagian dari diriku yang pergi atau hilang. Agak sakit namun aku percaya waktu yang akan menyembuhkan. Lalu nanti akan kuceritakan kepada istriku bahwa aku baru saja makan malam dengan seorang klien yang cantik dan hebat, dan aku bayangkan istriku bertanya dan beri komentar “dia pasti jatuh hati pada suamiku yang hebat ini” . Narsis yah..?? ya begitulah cara kami berdua saling memuji, dan begitulah cara kami untuk saling percaya. Tuhan, terima kasih atas kesadaran awal yang terjadi, dan terima kasih atas Kau berikan aku pasangan yang bisa selalu membuatku sadar. Terima kasih.