Kamis, 13 Maret 2008

Ibu dan Pakde

Waktu itu, berat sekali rasanya. Ibu saat itu hanya punya pikiran kuatkah aku menghadapi semua kejadian ini. Berat sekali rasanya membawa rasa dalam dada ini.

Kalimat itu memaksa aku untuk kembali duduk dikursi makan diseberang kursi tempat ibuku duduk, kami berhadapan. Semua janji bisnis yang sudah kubuat untuk malam ini aku batalkan. Pembicaraan ringan yang biasa kita lakukan berubah menjadi pembicaraan yang menurutku ‘berat’. Suara ibu bergetar saat mengucapkannya.

“Mengapa pakde dipenjara Bu?”

“Tidak tahu nak, ibu masih kecil saat itu, ibu masih kelas lima SD, yang ibu ingat hanya kira-kira 3 hari sebelum kejadian, ada seorang teman dari pakdemu yang menginap di rumah”

“Teman itu siapa?”

“Ibu juga belum pernah melihat sebelumnya, tapi kata nenekmu, dia adalah teman dari pakdemu yang mungkin sedang susah, ya udah biar saja nginep disini kata nenekmu saat itu”

“Setelah pakdemua ditangkap, kakekmu mulai sakit-sakitan, kami saat itu miskin sekali dan susah, kami delapan bersaudara dan semua masih sekolah, pakdemu saat itu sudah SMA, dan sangat pintar, dialah yang ‘digadang-gadang’ oleh kakekmu agar bisa jadi orang dan bisa mengangkat harkat keluarga”

“Lalu pakde ditangkap begitu saja tanpa ada surat penangkapan atau pengadilan?”

“Ibumu juga tidak tahu, nenekmu buta huruf dan kakekmu adalah orang yang paling nrimo, dibeginikan tidak marah, dibegitukan juga tidak marah”

Aku diam membayangkan wajah almarhum kakeku yang sudah meninggal saat aku masih duduk di kelas tiga SD. Matanya cekung, dan memang kakek tidak pernah marah sedikitpun kepadaku, bibirnya selalu tersenyum, siapapun akan merasa damai saat melihatnya.

“Setiap kamis sore kakek selalu bilang ke nenekmu untuk menjemur irisan tempe itu sampai kering agar lebih awet, dan sabtu sorenya, kering tempe itu dikirim ke pakdemu dipenjara” …ibu terdiam dan kulihat matanya mulai berair, aku pegang kedua tangannya, dan tangan kami saling berpegangan di atas meja makan yang beralaskan kaca yang sangat dingin karena sore itu hujan mulai turun.

“Setiap sabtu siang, kakek dan nenekmu naik sepeda menengok pakdemu dan mengantarkan kering tempe kesukaan pakdemu, sampai akhirnya kakekmu sudah tidak sanggup lagi mengayuh sepedanya karena sakit paru-paru”

Ibu berhenti sebentar menarik nafas dalam-dalam, seperti mencoba mengingat rasa tidak enak yang pernah dia rasakan dulu.

“Saat itulah ayahmu datang, dan bahkan sebelum menikah dengan ibu, ayahmu sudah mengambil sebagian tanggung jawabnya, dialah yang memboncengkan kakek atau nenekmu untuk pergi mengantarkan kering tempe untuk pakdemu”

Aku tersenyum mendengar hal itu, ibuku selalu bangga saat menceritakan bagian itu, dan bagiku itu sudah cukup untuk menjadi bukti cinta dari ibuku untuk ayahku, demikian juga sebaliknya.

“Sampai suatu saat, ibu mencuci rantang tempat kering tempe setelah nenekmu pulang dari menengok pakdemu, saat itu ibu merasa aneh, kenapa jari dan telapak tangan ibu menjadi kehitam-hitaman setelah memegang bagian belakang rantang? Ternyata setelah ibu balik, dibagian belakang rantang tersebut pakdemu menuliskan pesan-pesannya. Ibu sangat sedih sekali, berarti selama ini ibu sudah banyak menghapus surat-surat yang pakdemu tuliskan untuk ibu sebagai anak yang paling tua dirumah setelah pakdemu masuk penjara”

Aku sudah tidak sanggup lagi menahan air mataku. Air mata itu mengalir seiring dengan bertambahnya rasa hormatku kepada ibuku. Susah yang kualami sekarang sebagai kepala keluarga tidak ada apa-apanya disbanding dengan betapa sedih, perih dan susahnya ibuku saat itu. Ibu masih duduk di kelas 5 SD saat itu dan dia harus mengambil tanggung jawab perasaan sebesar itu.

“Mengapa pakde harus menuliskannya di rantang? Kan tinggal tulis surat saja atau titip pesan lewat nenek”

“Saat itu, semua surat pasti disortir dan setelah disortir pasti dimusnahkan, tidak perduli apapun isinya, dan pakdemu adalah orang yang bijak dan cerdas, dia tidak kehilangan akal makanya dia tuliskan semua pesannya dibagian belakan rantang dan dia tahu bahwa adiknya pasti akan membacanya”

“lalu mengapa dia tidak titip pesan ke nenek saja”

“Dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya, dia tahu orang tuanya sudah cukup menderita dengan memikirkannya”

Aku terbayang wajah pakde yang menurutku memang cerdas, dan aku merasa bahwa sampai saat ini aku sangat tidak cukup memberinya perhatian dan bahkan rasa hormat.

“Apa saja isi surat itu Bu?”

“Banyak, tapi kebanyakan pakdemu meminta ibu untuk selalu membantu kakek nenekmu betapapun capeknya badan ibu, dan lebih sabar dalam membimbing om-om dan tante-tantemu. Dan dia juga meminta ibu agar lebih berhati-hati dalalm bergaul serta giat belajar agar tidak menyusahkan orang tua.

“Cuma itu”

“Ya, dan pakdemu tidak pernah bosan untuk mengulang pesan-pesannya dan ibumu juga tidak pernah merasa bosan untuk membaca pesan-pesan dirantang itu”

Aku menarik nafas agar lebih tenang dan tidak terbawa emosi, sedangkan ibuku sudah terlihat lebih tenang.

“Ibu tidak benci terhadap orang yang memenjarakan pakde?”

“Dulu ya, tapi lama kelamaan ibumu merasa bahwa benci tidak mengobati sakit hati ibu. Semakin ibu membenci ibu semakin tidak tahu kepada siapa orangnya yang harus ibu benci”

Semarang, 14 Maret 2008

AKu menganggukan kepala pelan sekali. Ibuku benar, tidak ada jalan lain selain memaafkan atau tidak memikirannya sama sekali. Lupakan!

Minggu, 09 Maret 2008

Merayakan kematian

“Belajar mensyukuri kematian karena sebenarnya kematian adalah awal dari kelahiran kembali menuju kesempurnaan”

Apakah ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi setelah kita mati? Aku tak berani menjawab pertanyaan ini. Masing-masing keyakinan punya pandangan sendiri-sendiri tentang apa yang akan terjadi setelah kematian. Di Bali, upacara Ngaben bisa menghabiskan berjuta-juta uang atau bahkan bermilyar. Bayangkan saja untuk persiapan upacaranya saja mereka harus memasak untuk masyarakat yang membantu persiapan upacara dari membuat sesaji, wadah (rumah-rumahan yang akan diarak) dan lain sebagainya yang detailnya banyak sekali, dan memakan waktu berhari-hari untuk mempersiapkannya. Laksana mempersiapkan sebuah pesta yang besar bahkan lebih besar dari pesta saat penyambutan kelahiran.

Diceritakan bahwa dibalik kelahiran kembali atau biasa disebut reinkarnasi adalah kesempatan yang diberikan olehNya kepada manusia untuk memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik dari kelahiran yang satu ke kelahiran yang berikutnya sampai akhirnya mencapai “kesadaran” yang tinggi lalu moksa. Jadi sebenarnya saat kita mati adalah momentum yang tepat bagi kita untuk nantinya bisa menjadi manusia yang lebih baik. Di sebuah kitab tentang kematian di Tibet disebutkan bahwa sebenarnya kita bisa memilih untuk kelahiran kita yang berikutnya, namun itu hanya bisa terjadi bila kita memiliki kesadaran yang baik. Kesadaran yang baik bisa dicapai dengan salah satunya adalah meditasi.

Memang rasanya terdengar aneh saat mendapatkan ide untuk merayakan kematian. Saat pergi ke rumah kakek yang meninggal karena sakit paru-paru, istripun bilang “kau jangan macam-macam, dimanapun saat ada kematian disitu pasti ada kesedihan, tapi kamu malah mau merayakan” . Tapi menurutku ini penting sekali, karena bila kita sadar akan kematian, maka yang akan kita lakukan adalah perbaikan terus menerus terhadap diri kita. Mengapa? Karena kita perduli dengan kematian. Karena kita perduli, kita pasti akan mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya, baik dari segi perilaku kita dan lainya yang biasa disebut warisan. Warisan biasanya dikaitkan dengan harta, mungkin tidak ada salahnya menambahkan warisan berupa contoh-contoh dari kehidupan kita sehari-hari. Yang nantinya akan ditiru oleh anak cucu kita.

Kesimpulannya, mari kita belajar mempersiapkan kematian dengan melakukan hal-hal yang berguna, positif, dan mari belajar untuk tidak takut terhadap kematian melalui keheningan dan meditasi. Memang tidak mudah, tapi kalau tidak mulai dari sekarang, kapan lagi??

Selasa, 04 Maret 2008

Wayan dari seberang (Bag. 7)

Steve si Petualang

“Mawar, aku ingin menikah dengan kamu”

“Sudah tau dari dulu”

“Nggak gitu Mawar, kali ini beneran”

“Steve, kalau kamu bener-bener mau kawin sama aku, tunjukan pada orang tuaku kalau kamu bisa jadi suami yang bertanggung jawab”

“Aku sudah tunjukan, aku sudah bekerja,

“Harusnya kamu tahu Steve, kita sudah lama pacaran, dan kita sudah terlalu sering ribut, aku sudah nggak mau ngomong lagi tentang perbedaan kita, itu tidak membantu”

“Nggak Mawar, kita harus tetap bicara tentang perbedaan itu, dan kita harus cari jalan keluar, karena aku mau hidup bersama kamu”

“Steve, justru karena itu aku sekarang lebih memilih untuk merubah diriku sendiri ketimbang memintamu berubah, aku butuh waktu Steve dan aku tetap mencitaimu”

“Mawar…”

Aku peluk Mawar, kuelus rambutnya yang hitam panjang, dan kurasakan air matanya mengalir membasahi kaos oblongku. Di kebun bunga milik Mawar, lengkapnya Ni Ketut Mawar, aku selalu merasa damai. Damai akan cinta sejati yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Namaku Steve Robinson, aku berasal dari Quensland. Kira-kira 1 tahun setelah lulus universitas, aku memutuskan untuk keluar Australia karena aku muak, muak dengan hidupku sendiri. Uang aku cukup, orang tuaku selalu mencukupi segala kebutuhan finansialku. Problemku klasik, Papaku sibuk bekerja dan sibuk dengan pacar barunya, dan Mamakupun nggak mau kalah, dia juga mau kawin lagi saat itu, dan aku dengar dia sudah punya dua anak dari laki-laki barunya. Aku anak nomor tiga, dan kedua kakaku sibuk dengan urusannya sendiri. Mulai SMA aku tinggal di asrama, dan setelah kuliah, mulai saat itulah aku mulai liar dan aku menikmatinya. Terakhir aku pergi ke gereja adalah saat Natal di elementary school. Dan setelah itu aku mulai tidak bersahabat dengan Tuhan. Tapi aku selalu merasa bahwa Tuhan selalu mau menjadi sahabatku.

Negara pertama yang menjadi tujuanku saat aku memutuskan pergi adalah Thailand, sepuluh bulan aku disana belajar menjadi bartender dari orang amerika yang tinggal disana, aku bekerja dibar miliknya selama 3 bulan sampai akhirnya aku bertemu dengan Kelly, gadis berkebangsaan Inggris yang liar dan selalu membuatku bergairah untuk bercinta dengannya. Tapi dia tidak mencitaiku, setelah 1 bulan tinggal bersamaku dia pindah tinggal bersama lelaki Belanda kaya yang punya bisnis di Thailand. Dan aku hidup tanpa cinta lagi, sampai aku bertemu dengan Tom, backpacker dari New Zeland yang bercerita kalau Bali adalah pulaunya para Dewa yang penuh dengan cinta, katanya aku pasti menemukan cinta disana. Tom adalah seorang Hindu, setiap pagi dia duduk bersila di teras depan kamarnya untuk benafas teratur dan mulutnya menggumamkan sesuatu yang aku tidak mengerti. Tapi yang penting bagiku, dia baik. Tom bercerita bahwa gadigadis di Bali sangat baik dan cantik dan Tom juga bilang bahwa di Bali hampir semua orang beragama Hindu seperti dia. Aku Cuma berpikir, kalau orang Hindu yang laki-laki seperti Tom saja baiknya minta ampun, apalagi yang wanita. Dan aku mulai punya pikiran untuk pindah dan tinggal di Bali. Setelah beberapa hari aku memikirkannya, akhirnya kuputuskan Aku akan berangkat ke Bali. Aku menelpon ayahku minta untuk dikirimi uang buat beli ticket pesawat keBali. Aku sangat berbahagia, hanya satu yang aku benar-benar inginkan saat di Bali nanti,yaitu ada seorang gadis Bali yang mau menyiapkan makan pagiku sebelum aku pergi dan saat malam tidur, bercerita dan bercinta denganku tanpa kemudian meninggalkanku untuk tidur dengan laki-laki lain seperti si brengsek Kelly.

20 Desember 2002, aku berangkat ke Bali dengan berbekal 1 backpack, lonely planet about Bali, dan keinginan mencari cinta. Didalam pesawat aku bermimpi tidur disamping Mamaku dan dia mencium keningku sebelum dia meninggalkan kamarku, I love this dream, biarpun Mamaku brengsek karena kawin lagi dan punya anak dari laki-laki selain ayahku, tapi bagaimanapun dia adalah ibu yang melahirkanku. Dan 2 anak yang dilahirkanny dari laki-laki lain itu adalah adik tiriku. Kata Mamaku saat aku telepon beberapa hari yang lalu mereka sudah kelas 6 dan kelas 9. Namanya Bill dan Nancy.

Hujan sangat deras sekali ketika pesawat turun di landasan airport Ngurah Rai, Bali. Di terminal kedatangan aku melihat namaku tertulis di papan nama yang dipegang seorang wanita dengan kulit coklat muda (kalau orang Indonesia bilang sawo matang) she is so sweet. Aku langsung lambaikan tangan pada wanita itu. Dan dia langsung berlari menemuiku.

“Welcome to Bali Mr. Robinson, let me take you backpack”

Aku sangat terkejut mendengarnya, dan berkata.

“Of course I won’t let you take my backpack, My father will kill me when he knows a beautifull lady like you take my bag”

“Ok, then let’s follow me”

Dan aku lihat warna merah dipipinya semakian merah seperti gadis-gadis lugu yang malu saat dipuji oleh lelaki. Dia mempersilahkan aku masuk sambil mengatakan sesuatu kepada sopirnya yang aku tidak mengerti artinya.

Mobil van merk Toyota yang luas tempat duduknya ini ini meluncur pelan meintasi gerimis di pulau Bali.

“Berapa lama Anda akan tinggal di Bali Mr. Robinson?

“Tidak tahu, mungkin sebulan, mungkin dua bulan, mungkin setahun atau mungkin selamanya”

“Ok” jawabnya tanpa menengok sedikitpun ke arahku, mungkin dia malu.

Jawabannya sangat sopan sambil mengangguk, dalam hatiku mungkin semua orang hotel selalu diajari untuk mengerti semua yang diucapkan oleh tamunya biarpun terdengar aneh.

“Kalau anda asli dari sini? Namamu siapa?

“Saya Ketut, lengkapnya Ni Ketut Mawar, dan saya asli Bali”

“OK”

“Kita akan segera sampai, setelah belokan di depan, Hotel Hard Rock ada tepat disebelah kanan dengan pemandangan pantai kuta yang eksotik.”

“Ya, saya sudah lihat di brochure dan internet tentang Hard Rock Kuta, makanya saya memutuskan untuk tinggal disini”

Pintu mobil Toyota ini dibuka oleh seorang pria muda yang sopan, dan Ketut, gadis Bali yang “sweet” mengajaku masuk ke lobby dan sekarang aku memperbolehkan tasku dibawa oleh orang lain karena dia pria “bellboy”

“Have a nice stay in Hard Rock Mr. Robinson, and here’s my card, call me if you need me to help you to see more about Bali” kata Ketut.

“OK, Ketut, thank you “ kataku sambil mengulurkan tangan dan memberinya tip.

Aku segera menyelesaikan proses check-in dan masuk ke kamar hotel. Bell boy yang mengantarku bercerita banyak tentang hardrock dan kuta, aku Cuma manggut-manggut, aku sedang tidak mood untuk segala kesenangan itu, aku sudah cukup puas dengan pataya di Thailand, wanita, alcohol dan ganja semua lengkap disana. Dan disini aku memutuskan untuk mencari sesuatu yang lain yaitu Bidadari yang sesungguhnya, dan aku akan berusaha. Uang yang diberikan ayahku katanya cukup untuk 1 bulan tinggal di hardrock dan makan 1 tahun plus tinggal di rumah sederhana di Bali katanya, dan aku percaya karena ayahku punya beberapa rekan bisnis yang tinggal di Bali. Aku merasa sangat beruntung punya orang tua yang selalu bisa memberi apa yang aku minta.

Dua hari sudah aku di Bali dan hampir separo waktuku aku gunakan untuk tidur, dan aku merasa nyaman sekali dengan bau dupa yang dibakar oleh pegawai hotel saat mereka meletakan bunga dan buah di beberapa tempat di hotel. Saat membauinya aku merasa sangat nyaman, dan otaku rasanya tenang sekali, dan aku tidak ingin pergi ke bar sedikitpun selama dua hari itu. Saat malam aku berjalan ditepi pantai kuta dan tiduran memandang langit yang keberulan sering gelap karena mendung, jadi hanya kutemukan beberapa bintang diatas sana. Memang luar biasa sinar bintang itu, segelap apapun langitnya, bila ada satu bintang saja yang bersinar dia akan terlihat. Dan aku ingat apa kata ayahku bahwa kalau langit hitam itu ibarat dunia keluargaku tepatnya sisi gelap keluargaku dan bintang-bintang kecil itu adalah perbuatan-perbuatan baik kita kita lakukan. Jadi seberapapun jeleknya orang kalau dia melakukan perbuatan baik yang sangat kecil sekalipun itu pasti akan dilihat oleh Tuhan, biarpun tidak oleh semua orang. Tuhan…ya, sudah lama aku tidak berbicara kepadaNya. Mengenai terlihat atau tidak biontang itu, dikarenakan ada sebagian orang yang saat melihat akan tertutup oleh gelapnya langit atau kejelekan orang yang dilihatnya, tapi ada sebagian orang yang langsung bisa melihat bintang itu, dan bisa melihat satu titik kebaikan saja diantara lautan kejelekan adalah orang yang sangat bijaksana. Ok, dad, aku akan berusaha melakukan hal-hal yang berguna apapun itu.

Hari ketiga aku di Bali, aku masih disekitar pantai kuta, banyak orang yang berlatih surfing, katanya sebentar lagi mau ada lomba yang diselenggarakan oleh sebuah produsen pakain surfing internasional. Beberapa hari sebelum aku meninggalkan Australia, aku memberikan papan surfing kesayanganku pada sahabatku di. Ada sedikit perasaan untuk mencoba lagi, untuk ikut bermain lagi tapi aku tidak tahu, ada terlintas dipikiranku apakah ini nantinya berguna untuku? Dan aku meneruskan berjalan menyusuri pantai dan mampir ke sebuah restoran di tepi pantai untuk makan disana. Pelayan di restoran itu sangat ramah, dia bercerita bahwa lomba ini termasuk cukup besar dan hadiahnya besar. Dan aku sama sekali tidak tertarik dengan hadiah uang yang besar itu, aku sudah cukup mendapat banyak dari ayahku. Lalu dia juga bilang bahwa selain dapat uang juga bisa digaet untuk jadi brand ambassador yang tugasnya adalah mempromsikan produk itu dan ikut mempromosikan olah raga surfing. Nah ini yang membuat aku berfikir, Sangat sederhana, kalau aku bisa menang dan bergabung menjadi brand ambassador setidaknya aku bisa ikut menyumbangkan keahlianku untuk diajarkan kepada orang-orang dan akhirnya menjadi orang yang berguna. Satu-satunya keahlian yang kumiliki adalah surfing. Sejak lulus kuliah aku tidak pernah bekerja secara formal, dan dari kecil permainan yang kulakukan adalah surfing, sekarang umurku baru 19 tahun, aku masih punya waktu untuk latihan karena lombanya adalah 1 bulan lagi. Aku harus melakukan sesuatu.

Memang bila ada sedikit saja keinginan dipikiran kita kadang Tuhan memberi respon dengan sangat cepat sekali, begini ceritanya. Aku kembali berjalan menyusuri pantai menuju ke kerumunan anak-anak muda yang duduk diatas surfingnya.

“Hai, aku mencari pelatih surfing yang paling hebat disini”

“kamu siapa? Katanya keras sambil tersenyum lebar

“Aku Steve, aku mau belajar surfing” aku merasakan bau alkohol dari mulutnya

“kalau Cuma belajar main bisa dengan aku, namaku Waveday”

“Aku mau yang terbaik disini Wave” Dalam hati aku berkata siapa yang mau belajar dari seorang pemabuk di siang hari.

“Kau meremehkan aku Steve, kalahkan aku”

“Aku malas wave, aku hanya mau bertemu dengan yang terbaik”jawabku kesal ”berapapun aku bayar”

Wajah wave memerah, dan dia perintahkan salah seorang temannya untuk memberikan papannya kepadaku.

“Now, kau membuat aku marah, ambil papan itu dan ikut aku ke air”

Ingin sebal sekali melihat wajah hitam yang menjadi merah karena alcohol itu, aku tidak takut sedikitpun biarpun aku orang baru disini. Ayahku selalu mengajarkan aku untuk berani terhadap apapun. Akhirnya kuambil juga papan itu dan berlari bersamanya ke air.

aSenbenarnya aku agak menyesal menuruti permintaan Waveday, tapi sekarang masalahnya aku terlanjur memegang papan surfing yang cukup lama aku tinggalkan dan aku sudah berlari menuju kea rah bibir pantai.

Aku mulai tidur dipapan dan mengayunkan tangan ke dalam air menuju ketengah, pukulan ombak kecil kearah kepalaku seperti menyadarkan aku untuk lebih fokus dan waspada. Oleh ayahku, aku selalu ditekankan untuk waspada dan focus saat berada di air, jangan pikirikan yang lain, jangan pikirkan lawanmu, tapi lihat dan ikuti arus ombak yang ada, dan cari ombak yang besar. Aku terus mengaunkan tangan. Aku mendengar sayup-sayup suara Waveday berteriak-teriak kearahku dan terdengar seperti ejekan, aku berusaha tidak memikirkan. Aku sangat focus sekarang. Lalu air terasa mulai seperti tenang, itulah saat kita mulai membalikan papan dan meluncur mengikuti gulungan ombak. Aku sudah berdiri dipapan surfing warna kuning milik teman Waveday. Darahku mengalir sangat kencang sekali, ombak itu begitu tinggi, jantungku berdegup keras sekali, dan aku sangat menyukai suasana seperti ini, aku merasa sangat berarti, sangat hidup. Aku arahkan papanku ke gulungan di samping kiri dan aku berhasil memasukinya, suara air itu sangat gemuruh, dan aku berada di dalam lubang gulungan ombak yang meluncur kea rah pantai. Aku terus mengarahkan papan itu untuk bisa keluar dari lubang itu sebelum dia mengecil dan menghantamku, akhir lubang itu terlihat begitu jelas, tapi rasanya berat dan sulit sekali untuk menuju kesana, tanpa aku sadari aku mengatakan “God, please help me to finish it” dan setelah itu aku merasakan seperti ada yang mendorongku untuk meluncur lebih cepat dan akhirnya keluar dari gulungan ombak tersebut, dan kumainkan papan itu mengikuti ombak kecil yang mendorongku ke arah pantai. Aku lihat sekelilingku, Wave tidak kelihatan, dan dipantai kulihat beberapa temannya membanting topinya dan beberapa lagi berteriak sambil menunjuk ke arahku, lebih tepatnya kebelakangku. Aku berhenti dan duduk diatas papan dan mencoba melihat kesekeliling dan aku tak menemukan Wave. Seharusnya dia ada dibelakangku. Shit!! Seharusnya aku tidak meladeni ajakannya, khan dia habis minum! Tiba-tiba aku sadar dan merasa bersalah, aku telah berlomba dengan orang mabuk. Aku berenang kembali menyusuri tempat aku meluncur dans esekali menyelam. Akhirnya aku melihat papan surfing warna putih yang digunakan Wave terapung kira-kira 50 meter dari tempatku. Aku ayunkan tangan sekuat tenagaku menuju kepapan itu dan langsung kulepas tali papan yang mengikat kakiku, dan aku menyelam karena tidak kulihat Wave diatas air. Terlihat Wave melayang dibawah surfingnya sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Aku tarik dia ketatas, dan aku berusaha mengaitkan tangannya kepapan surfing agar kepalanya bisa diatas air. Kudorong papan itu kearah pantai yang kira-kira jaraknya masih 50 meter, aku tidak bisa berpikir aku hanya berusaha mengayuhkan dua kaki dan satu tanganku agar cepat bisa ke pantai. Aku bisa melihat beberapa penjaga pantai melompat ke air dan berenang kearah kami. Berat sekali rasanya mengayunkan tangan dan kakiku.

“Kamu bodoh Dave, dan kau harus hidup untuk membayar kebodohanmu ini” teriaku ke wajah Dave.

Dan akhirnya para penjaga pantai itu yang mengambil Dave dan membawanya ke pantai, dan aku berenang kembali mengambil papanku yang sudah terbawa ombak sekitar 25 meter kearah laut dan kembali mengayuh ke pantai sekuat tenaga.

Aku lihat di panati banyak orang mengerumuni Wave, aku langsung menerjang menyibak sekumpulan orang-orang itu, dan berlutut di kaki Dave, aku guncang-guncangkan kakinya sambil berteriak memintanya untuk sadar. Penjaga pantai itu terus memberinya nafas buatan dan menekan dadanya. Dan akhirnya Wave memuntahkan air dari mulutnya. Aku lega dan penjaga itu segera membawa Wave ketepi pantai untuk dibawa ke rumah sakit. Semua teman Wave dengan sepeda motor mengikuti mobi yang membawa Dave. Dan aku bingung harus berbuat apa, aku Cuma bisa melihat semua orang mulai melakukan aktifitas seperti biasa dan aku berdiri di trotoar melihat sampai mobil yang membawa Wave hilang dari pandangan.

Oh..apalagi ini, seumur hidupku aku belum pernah dihadapkan dengan masalah sekritis ini, hamper saja aku melihat orang yang berada didekatku, bahkan bermain bersamaku meninggal. Aku melihat hiasan Natal dan sayup-sayup lagu natal di Lobby hotel tempatku tinggal. Disana ada pohon Natal dan dibawahnya ada hiasan segerombolan orang yang berlutut didepan bayi yang didampingi oleh ayah ibunya. Yesus…sudah lama aku tidak berbicara dengannya. Setelah mama dan papaku berpisah aku relative hidup sendiri dan mulai hidup dengan keinginanku sendiri, waktu itu aku merasa bahwa aku mulai tidak memerlukan Tuhan karena aku merasa bisa bahagia tanpanya, semua keinginanku dikabulkan oleh ayahku dan aku sangat bahagia saat itu. Dan baru saja aku melihat batas antara kehidupan dan kematian yang sangat tipis. Wave baru saja bersenang –senang dengan teman-temannya di bar, lalu bertemu denganku dan kita berlomba, dan Wave tenggelam. Lalu bisa selamat. Mungkin saja bila aku tidak melihat tanda yang diberikan oleh teman Wave aku pasti akan terus meluncur sampai pantai dan Wave sudah mati didasar laut. Aku belum mau mati Yesus, kataku dalam hati. Aku masih ingin menemukan wanita yang akan menyiapkan makan pagiku dan menjadi teman tidurku untuk selamanya sampai matiku.

“di mana gereja terdekat yang menggunakan bahasa inggris? Tanyaku kepada receptionis

“Oh ada, sebentar ya” lalu dia menuliskan sebuah alamat pada selembar kertas dan menjelaskan bagaimana aku bisa sampai disana.

“Ok, kalau begitu tolong pesankan taxi, setengah jam lagi aku akan turun dari kamarku”

“Yes, mr. Robinson”

Gereja itu cukup besar dan ada ukiran-ukiran yang aku lihat juga digedung-gedung lainnya. Aku masuk ada beberapa orang berkulit coklat disana tapi kebanyakan adalah sama seperti aku. Lalu ritual sebuah misa dimulai dan orang yang berbicara didepan masih muda, bicaranya menarik, tapi aku tidak bisa menangkap semuanya. Yang ada dipikiranku adalah ingatan saat aku digandeng oleh mama dan papaku di hari minggu berjalan masuk ke gereja yang selalu kita kunjungi setiap minggu. Aku sangat merindukan hal itu.

“Kau akan menemukan apa yang kau cari, bila kau percaya. Yesus tidak akan pernah tidur demi membahagiakan umatNya. Dia akan selalu mencarikan yang terbaik untuk umatNya.” Itu sedikit yang kuingat dari sekian banyak kata yang diucapkan oleh Pendeta muda itu.

Ya..aku pasti akan mendapatkan wanita yang menyiapkan makan pagiku dan menemaniku tidur selama hidupku…pasti. Lalu aku pulang sebelum misa itu selesai..dan aku merasa sangat yakin dan berbahagia. Langkahku tersa lebih ringan, dan aku teringat lagi akan Wave, bagaimana dia sekarang? Aku panggil taxi dan meminta sopir untuk mengantarku ke pantai dimana aku bertemu Wave siang tadi. Malam sangat cerah sekali, tidak hujan dan suara music hinar binger terdengar dari pub-pub yang berada disepamjang jalan dekat pantai. Aku berjalan pelan sambil melihat seksama ke dalam pub dan resto yang aku lewati.

“Hey, Steve, sini kamu” terdengar teriakan dari sebuah restoran pizza yang tidak terlalu besar, dan Wave terlihat melambaikan tangan kearahku sambil memegang botol beer ditangan kirinya.

Aku langsung menuju ketempatnya dan menyambar telapak tangannya dengan keras.

“You are crazy Wave”

“And you are brave my man, I like you”

“Wave, aku Cuma minta jangan mabuk saat berselancar, berbahaya”

“Ok..Ok….ayuk bergabung dengan kita”

Aku langsung berkenalan dengan beberapa temannya, ada Wayan Palmer, Made Board dan Ketut Stone. Katanya mereka menambahi nama belakang mereka agar terdengar lebih cool saat bergaul dengan para surfer lain dan lebih menjual. Malam itu aku menemukan duniaku, aku merasa sangat senang bergaul dengan mereka dan aku putuskan untuk belajar surfing dari Wave yang ternyata adalah seorang juara local tahun yang lalu dan dia disponsori oleh salah satu merk pakaian surfing yang sangat terkenal. Dan aku terus berlatih dibawah bimbingan Wave, yang ternyata sangat serius orangnya, dia melatihku dengan sangat keras dengan jadwal yang sangat ketat. Dan aku memutuskan untuk pindah ke sebuah rumah yang kusewa selama setahun sehingga dengan sisa uangku aku bisa hidup tanpa beban selama setahun. Dan aku putuskan untuk sesekali membantu Wave melatih surfing untuk para tourist. Pap, Mam, now I get what I want. Aku bekerja melakukan apa yang aku suka, uangnya memang tidak seberapa, untuk makan dan nongkrong di bar sudah habis. Tapi aku sudah mulai belajar untuk punya tabungan. Sisa uang yang diberikan ayahku masih tetap berada pada tempatnya yaitu di bank. Wave yang nama aslinya adalah Wayan Ombak , banyak mengajarkan hal-hal yang menurutku sangat luar biasa kepadaku. Usianya lima tahun diatasku, tapi kebijaksanaannya luar biasa kalau dia tidak minum, tapi saat minum minta ampun, dia berubah 180 derajat menjadi orang yang liar. Dan dia sangat setia kawan. Dia peranakan campuran, ayahnya adalah orang Bali asli sedangkan Mamanya adalah orang Jepang yang sudah menjadi warga Negara Indonesia. Mereka memiliki sebuah took souvernir dan restaurant Jepang yang cukup ramai di Kuta. I start to love Bali and forget about a lady who will prepare my breakfast and always sleeping beside me, sampai di suatu pagi saat aku di pantai aku melihat seorang Mawar sedang bermain pasir bersama kawan wanitanya.

“Hai Mawar, kau masih ingat denganku? Aku Steve, yang pernah kau jemput di airport”

“Oh, hai Mr. Steve, ya pasti aku masih ingat, kau memberi aku uang tip yang lumayan besar”

“Jangan panggil aku mister Mawar, panggil Steve, dan ini?”

“Hai, aku Dayu”

“Hai Dayu, I’m Steve”

“Steve, kau datang waktu itu kalau tidak salah bulan desember ya?”

“Ya, tidak terasa sudah 3 bulan aku di Bali”

“Masih tinggal di Hard Rock?”

“No, aku sudah sewa rumah di daerah Legian”

“Kau pasti suka Bali Steve, sampai 3 bulan sudah kau tinggal disini”

“Ya, aku suka dan ada yang aku cari disini. Mawar, aku masih menyimpan kartu namamu, aku akan telepon kau nanti, aku pergi dulu, itu temanku sudah menunggu aku untuk pergi”

Sialan Wave memanggil aku keras sekali dan menyuruhku cepat-cepat ke mobil, padahal aku masih ingin bicara banyak dengan Mawar. Ternyata dia sangat cantik di saat bebas dan menggunakan celana pendek dan kaus putih ketat.

Itulah momentum yang luar biasa dalam hidupku dan sejak saat itu kami sering makan malam bersama, dan pegi ke gereja bersama.