Minggu, 10 Februari 2008

I am the happiest person in the earth

Kalimat yang sangat menggelitik, saya dapatkan dari tag line e-mail seorang sahabat saya yang banyak memberikan inspirasi kepada kami. Sangat powerfull! Dalam sebuah seminar yang saya ikuti, kita disarankan untuk memberikan masukan kepada diri kita setiap pagi saat kita bangun tidur. Masukan yang kita berikan adalah seperti apa hari selama 24 jam nanti menjadi kita inginkan. Tentu saja semua dari kita menginginkan hari yang enak, seperti dapat proyek, dapat lotre, dapat nilai yang bagus, dapat pujian dari atasan atau apa saja yang mengenakan hati kita. Dengan memasukan kalimat positif seperti “I am the happiest person in the earth” saat bangun tidur misalnya, berarti kita sudah belajar menjadi nahkoda dalam hidup kita, kita mau menjadi orang yang sangat berbahagia. Hidup kita tidak sekedar mengalir dan ditentukan oleh nasib, tapi kita yang harus menjadi nahkoda dari nasib hidup kita. Saat mengucapkan, ucapkan dengan tersenyum dan keyakinan dalam hati yang paling dalam, Anda pasti akan merasakan gejolak positif dalam perasaan Anda yang akan membawa Anda menjadi orang yang paling berbahagia sepanjang hari.

Dalam buku “Who will cry when you die” Robin Sharma menceritakan tentang “Platinum 30” yang artinnya saat kita bangun pagi yang pertama kali harus kita lakukan untuk mendapatkan hidup berkualitas sepanjang hari adalah meluangkan waktu 30 menit untuk membaca hal yang positif selama 15 menit lalu kemudian meditasi selama 15 menit. Yang artinya sama dengan menanamkan hal yang sangat positif selama 30 menit setiap hari. Kalau 1 minggu itu sama dengan 3.5 jam. Dan artinya dalam setahun Anda cuma menyisihkan waktu Anda selama 7.58 hari dari 365 hari dalam setahun untuk menanamkan hal positif dalam otak dan hati. Kalau masih mengalami kesulitan, coba bandingkan dengan waktu yang Anda gunakan untuk menonton acara TV gossip atau sinetron, lalu coba pikirkan kira-kira mana lebih berguna? Saya sendiri sampai saat ini masih belajar untuk menjadi lebih disiplin terhadap diri saya sendiri tentang “Platinum 30”. Dan saya percaya bahwa saya pasti bisa, karena saya mau menjadi orang yang paling berbahagia di dunia ini.

Semarang, 11 Februari 2008

Rabu, 06 Februari 2008

“Merokok” vs. “Ndableg”

Bagi orang yang belum pernah merokok komentar mereka adalah “apa sih enaknya merokok?” lalu jawab si perokok “kau belum tahu enaknya merokok, makanya kau tidak tahu”

Lalu si tidak perokok berkata dan bertanya “Kau sudah tahu bahwa merokok itu tidak sehat, tapi mengapa kau masih merokok?” jawab si perokok “nanti kalau saya berhenti merokok kasihan buruh pabrik rokok dan cukai Negara nanti berkurang drastis dan akhirnya Indonesia nggak bisa bayar hutang”

Dan masih banyak jawaban-jawaban konyol dan bodoh dari mereka yang masih merokok demi membela kenikmatan yang mereka dapatkan dari merokok. Aku katakan itu konyol dan bodoh karena kurang lebih terakhir tiga tahun yang lalu aku berhenti mengatakan hal-hal bodoh tersebut. Aku berhenti merokok, ya aku berhenti melakukan hal yang sudah aku lakukan kalau tidak salah mulai saat aku duduk di kelas satu SMP kalau tidak salah.

Definisi dari “ndableg” adalah melakukan seuatu yang tidak diperbolehkan atau tidak disarankan dengan sengaja atau tidak sengaja, atau istilah kerennya “cuek”. Sebagai eks perokok saya pernah ndableg dalam urusan merokok. Ndableg terhadap diri sendiri dan juga ndableg terhadap orang lain yang dirugikan misalnya, ibu-ibu yang pernah duduk disebelah saya ketika naik bis, anak-anak kecil yang pernah berada disekitar, bisa anak kita sendiri, keponakan, anak tetangga atau anak-anak orang lain yang pernah berdekatan dengan kita dan harusnya bisa hidup lebih panjang tetapi terkurangi hak hidupnya karena asap rokok kita, yang harusnya mereka bisa bermain keesokan harinya tapi tidak bisa karena sakit alergi asap dari asap rokok yang kita keluarkan.

Dan aku merasa sangat beruntung bisa berhenti merokok, bagaimana caranya berhenti merokok, caranya hanya ada dua jangan beli rokok dan jangan minta rokok kalau tidak punya rokok. Dan bila anda memutuskan untuk masih merokok, silakan karena itu pilihan anda, saran saya hanya gunakan asap itu untuk anda sendiri, jangan berikan ke orang lain apalagi anak anda atau pasangan hidup anda. Merokoklah diruangan tersendiri atau yang penting saat anda sendiri dan tidak berdekatan dengan orang lain. Dengan begitu anda sudah menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap apa yang anda lakukan.

Selamat bagi yang sudah berhenti merokok dan yang baru saja memutuskan untuk berhenti.

Selamat juga bagi yang belum tapi sudah memutuskan untuk tidak merugikan orang lain dengan merokok “sendirian” di tempat tersendiri.

Selamat juga kepada mereka yang masih “ndableg” memutuskan untuk terus merokok dimana saja dan kapan saja karena dulu saya juga begitu dan saya doakan semoga anda cepat insyaf, he…he…he…

Semarang, 7 February 2008. Selamat tahun baru “tikus” semoga semuanya selalu berubah menjadi lebih baik.

Senin, 04 Februari 2008

Kebahagiaan

Aku baru saja belajar tentang sebuah makan kebahagiaan dari anaku yang kedua “Dena”. Nama lengkapnya Ni Made Purnama Komang, dia lahir tepat saat bulan purnama, dan wajahnyapun sangat cerah seperti bulan purnama yang menerangi malam gelap.

Sabtu sore menjelang malam, 2 Februari 2008. Dalam hati aku sudah memutuskan untuk tidak sembahyang hari raya Kuningan di pura Giri Natha Semarang, hujan gerimis mulai tambah membesar, dan istriku sibuk menyiapkan banten atau sesaji yang akan kita pakai untuk persembahan. Luhde anaku yang pertama terlihat males-malesan, tidak seperti biasanya yang mana dia sangat dan selalu bersemangat untuk apapun acaranya, apalagi ke Pura dimana dia bisa bertemu dengan teman-teman bermain selain teman sekolah, dan Nyoman anaku yang ketiga sakit perut “mencret” mungkin masuk angin. Sedangkan Dena tiduran di kursi teras karena dia baru saja bangun dari tidur siang yang kesorean.

“Dena, kita sembahyang dirumah saja ya, nggak usah ke Pura khan hujan? Kataku kepadanya sambil setengah memaksakan kehendak seperti biasanya orang tua kalau mau memaksakan sesuatu kepada anaknya.

Terlihat bibirnya agak maju, yang mana itu tandanya dia tidak setuju, dan matanya seolah mengatakan bahwa dia ingin sekali ke Pura. “Khan bisa naik mobil pak?” serunya lirih.

Lalu terdengar telepon, dan kata Rati “mbaknya Dena”, nenek mau bicara. Ditelepon mamiku memintaku untuk menjemputnya, karena dia sudah mberusaha menelpon taxi selalu penuh, dan papi sudah berangkat duluan ke Pura karena Papi selalu datang awal untuk menyiapkan pelengkap upacara seperti bunga, air suci, sound system dll. Dan tidak mungkin aku sebagai anak menolak permintaan orang tuaku, lalu aku putuskan untuk segera berangkat, menjemput mamiku, dan Yosie istriku tinggal dirumah untuk menemani Nyoman.

Sepanjang perjalanan aku merasa tegang dan tidak nyaman, mungkin karena separo hatiku pengennya dirumah “belum ikhlas” dan yang pasti aku takut mobilku mogok, karena mobil Daihatsu zebraku ini kalau kena banjir atau genangan yang agak tinggi suka mogok, jadi aku merasa nggak enak banget. Sementara Luhde dan Dena selalu menyanyi mengikuti semua lagu yang terdengar di radio, sampai akhirnya separo perjalanan Dena mengatakan seusatu yaitu membuat kepalaku serasa dipukul oleh kepalan tangan yang sangat padat.

“Bapak kok tidak terlihat bahagia, kenapa?”

Aku merasa sedikit ‘blank’ mendengar pertanyaan seperti itu, lalu aku katakana kepadanya, “Bapak bahagia Den, sangat bahagia” sambil kupaksakan diriku tersenyum.

“Tapi wajah bapak tidak bahagia”

Aku rasanya mau menangis, perasaanku nggak karuan, menyesal, marah, campur aduk. Hanya karena pengen tidur dan takut mogok aku sudah memperlihatkan wajah yang tidak enak dipandang kepada kedua anaku, merusak suasana ceria yang mereka tunjukan. Dan aku yakin Sang Hyang Widhipun sangat sedih melihat itu, sampai-sampai Dia berbicara melalui anaku untuk memperingatkanku.

Lalu aku bilang ke anaku “Maafkan bapak, bapak tadi tegang sekali karena bapak takut mobilnya mogok, dan sekarang bapak merasa sangat berbahagia, sangat bahagia karena memiliki anak-anak yang hebat seperti Luhde dan Dena”

Dan perjalananpun lancar, lalu kami sembahyang d Pura bersama dengan umat lain termasuk papi mamiku. Lalu kami pulang.

Malam itu aku mendapatkan salah satu arti bahagia yang sangat sederhana dari anaku, yaitu lakukan semuanya dengan ikhlas dan pasrahkan semuanya kepadaNya. Dan aku semakin yakin untuk selalu berusaha lalui hari-hari dengan sesuatu yang lebih baik dari hari kemarin sesedikit apapun agar hidup ini bisa lebih punya makna dan berguna bagi orang-orang disekitar kita.

Semarang, 4 Februari 2008