Kamis, 31 Januari 2008

Kasih adalah komitmen

Kalimat itu sudah sering sekali aku dengar dari sahabatku. Dia seorang praktisi di dunia pendidikan, bukan sebagai guru tetapi sebagai direktur dari yayasan sebuah sekolah yang sangat bergengsi. Dan lucunya dia tidak lulus S1, tapi membawahi banyak guru dan kepala sekolah yang sekolahnya tinggi-tinggi. Makanya aku merasa nyaman bersahabat dengan dia sejak kami bujangan, karena aku juga bukan orang sekolahan.

Kasih adalah komitmen, dan aku menerjemahkannya menjadi perkawinan adalah komitmen, dan sama juga bahwa kasih kepada anak adalah komitmen. Dan pernah juga saya baca dan dengar kalimat “mencintai apa adanya” atau “unconditional love”. Juga seperti yang pernah diajarkan oleh Gandhi “mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh”.

Kalau pengalaman pribadi saya dalam berkeluarga dan mempraktekan ajaran-ajaran dari para guru dan sahabat yang saya anggap guru adalah sangat sulit sekali melakukan semua itu, tapi saat kita berhasil melakukan secuil saja dari ajaran kasih itu, perasaan damai dan bahagia benar-benar memenuhi jiwa. Kami sering menyelesaikan masalah bukan dengan duduk berdua untuk kemudian membicaran masalah, yang mana biasanya bukan keluar solusi tapi malah memperlebar masalah, karena masing-masing dari kita merasa benar, tapi kami malah keluar untuk makan bersama ketiga anak kami, untuk kemudian saling melayani, dan bermain bercanda dengan anak-anak kami. Disaat itulah saya merasa bahwa saya sangat membutuhkannya untuk berbahagia bersama anak-anak dan juga “asisten” di rumah. Setelah itu biasanya pembicaraan yang tadinya kaku bisa jadi lumer karena anak-anak kami yang melumerkan kekakuan diantara kami. Dan setelah itu kata dan sikap cinta mulai keluar dari hati kami.

Kembali lagi ke komitmen, yang namanya komitmen asalnya selalu dari diri kita sendiri, seperti kata pepatah, untuk dicintai kita harus mencintai, untuk disukai kita harus menyukai, untuk dihormati kita harus dihormati. Jadi ada baiknya bagi kita untuk mulai melihat Kediri kita sendiri, dan mulai memikirkan tentang apa yang bisa kita rubah dari diri kita untuk mendapatkan kasih dan kebahagiaan yang kita inginkan.

Seperti kata Adnan Khrisna “Be joyfull and share your joy with other”

Rabu, 23 Januari 2008

Slamet "Catatan pinggir" Goenawan Muhamad

24 januari 2008,

Kemarin malam baca majalah Tempo yang terakhir, setelah bolak-balik halaman dan membaca beberapa artikel yang kebanyakan dipenuhi berita sakitnya Jendral tertinggi negara kita, akhirnya kuputuskan membaca catatan pinggirnya Pak Goenawan Muhamad yang selalu menyentuh hati, kali ini judulnya "Slamet".
Setelah membaca beberapa alinea mata ini sulit sekali untuk diajak melek, dan ternyata memang sudah jam 1 pagi, akhirnya aku ketiduran.
Pagi harinya aku bangun jam 5 dan aku melihat majalah Tempo itu masih disamping kepalaku, setelah ritual minum air putih satu gelas seperti biasa perutku bereaksi dan aku langsung nongkrong di WC untuk ritual berikutnya sambil meneruskan membaca catatan pinggir yang tadi malam belum terselesaikan. Ternyata isinya menyedihkan, diceritakan seorang Slamet yang jualan gorengan di Jakarta memutuskan untuk bunuh diri karena tidak kuat menahan bebean pikiran utang yang semakin menumpuk karena himpitan ekonomi ditambah harga kedelai yang nggak karuan. Dia nggak bisa bayar uang sekolah anaknya. dan ironisnya rumah Selamet dekat sekali dengan kantor sebuah Direktorat pertanian dan perdagangan yang mengontrol semua "policy" tentang naik turunnya harga hasil pertanian.
Aku sedih, tapi aku putuskan untuk tertawa, karena sedih dipagi hari sama saja dengan membunuh kebahagiaan yang akan kudapatkan selama sehari nanti. Dan aku memutuskan untuk lebih banyak belanja ke warung tetanggaku yang mungkin harganya selisih 500 perak. Itu keputusan kecil yang aku ambil di pagi hari. Mungkin kecil kalau yang melakukan cum aku, tapi kalau yang melakukan banyak orang, aku yakin ekonomi negara ini akan lebih merata. Memang belanja di Indomaret, Alfamaret, Giant, Carefour, hypermart lebih hemat, tapi coba pikirkan seberapa besar nilai penghematan tersebut dibandingkan dengan nilai uang yang kita pakai untuk belanja hal-hal yang sebenarnya tidak kita perlukan. So, sekali lagi aku akan lebih banyak belana di warung tetanggaku agar ekonomi kampungku menjadi lebih baik.

I'm sure that I'm gonna have a great day today.

Senin, 21 Januari 2008

Galungan Januari 2008

Selasa, 22 Januari 2008. nanti malam bulan Purnama dan aku bersama istri dan ketiga anaku akn pergi ke Pura untuk sembahyang, dan besok kami juga akan ke Pura untuk sembahyang bersama karena besok hari raya Galungan. Saat Galungan di Semarang, kadangan aku mendengar suara ketukan pisau manghajar cabe, bawang dan bumbu dapur lainnya diatas telenan kayu di tengah ramainya anak-anaku mempersiapkan sekolah paginya. Kalau di Bali, aku masih aingat saat masih kuliah disana, kita semua libur dan semuanya berbahagia seperti layaknya idul fitri di bumi Jawa. Rindu?? ya aku rindu suara itu, aku rindu bau daging mentah yang diurap jadi satu dengan nangka dan sedikit darah, dan aku juga rindu tape yang selalu disediakan saat kita silaturahmi di rumah saudara saat Galungan.

Makna Galungan sendiri bagiku sudah mulai berubah, kalau dulu saat bujangan di Bali. Aku paling suka Galungan karena saatnya kita buat Lawar bersama-sama, lalu kemudian menikmatinya bersama-sama sambil minum tuak sampai pantat kita tidak bisa menyangga perut kita yang kekenyangan dan kepala kita yang muter karena kebanyakan minum tuak. Aku sangat menikmati saaat seperti itu. Saat mulut bersendawa mengeluarkan suara yang keras dan bau yang tidak enak, itu juga menyenangkan. Tapi sekarang, aku mulai bersyukur kalau aku tidak menginginkan suasana seperti itu lagi, aku cuma mikir apa yang nanti dipikirkan ketiga anaku saat melihat Bapaknya mengumbar nafsu makan dan minumnya sampai ketiduran. Sekarang yang aku rindukan adalah saat aku, istriku, dan ketiga anaku berpakaian adat Bali bersama-sama ke pura Giri Natha, berkumpul dengan sesama umat Hindu di Pura, mendengarkan Darma Wacana dan bersembahyang bersama. Paling tidak aku bisa menanamkan pada ketiga anaku bahwa penting sekali untuk mengucapkan terima kasih kepadaNya melalui alam semesta ini, yaitu dengan sesaji. Sesderhana itulah pengertianku tentang Galungan dan sesaji. Dan untuk minum tuak dan makan lawarnya, aku rasa bisa dilakukan jangan pas Galungan dan aku selalu berharap untuk tidak kebablasan. Semua demi makna Galungan, yaitu kemenangan kebaikan melawan ketidakbaikan.

Kamis, 17 Januari 2008

Wayan dari Seberang (Bag 6)

ARYA “JD”

Superman is dead!! Ya Superman memang sudah mati, jadi banyak orang jahat yang berkeliaran. Banyak pencoleng, penipu. Dulu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu ketika aku masih SMA, aku selalu dengan bangga menceritakan pada teman-temanku dari luar Bali bahwa, di Bali aman banget, di halaman rumah kalau kita ninggalin sepeda motor dengan kunci kontak yang masih nempel di sepeda motor, nggak bakalan hilang! Kanapa? Karena orang Bali takut karma! Tapi sekali lagi itu dulu, sekarang kalau kita melakukan hal itu ya sama saja ngasi sajen untuk para pencoleng itu. Menurut pengamat itu terjadi karena banyak pendatang dari luar Bali, ada yang bilang karena sekarang cari uang tambah susah. Aku sendiri nggak begitu ngerti kenapa, tapi menurutku yang jelas mereka Cuma mau gampangnya untuk dapat uang, dan nggak perduli dengan kesusahan orang lain. So…dari pada dipikirin lebih baik kujadikan inspirasi untuk lukisan saja. Teman-temanku sering bilang aku antik karena lukisanku adalah tentang kehidupan sehari-hari yang terbilang nggak umum, tapi tetap dengan gaya Bali seperti yang terlihat di Sukawati hanya saja dari segi ukuran, obyek yang aku lukis nggak terlihat rumit, contohnya adalah lukisanku dengan judul “kecurian sepeda motor”, di situ aku melukis 3 obyek, yaitu laki-laki sebagai ayah, perempuan sebagai ibu dan anak perempuan kecil yang sedang menghitung lembaran uang dengan wajah sedih karena mereka masih harus nyicil motor yang minggu kemarin dicuri. Ya uang gaji mereka cukup atau pas banget untuk makan sehari-hari, sekolah anak, mebanten dan nyicil motor, jadi cicilan motor itu ibarat tabungan buat mereka. Dan sekarang mereka harus membayar cicilan motor ditambah dengan ongkos transport untuk si ayah berangkat kerja. Dan lebih bodohnya lagi lukisan itu laku dibeli kolektor gila dari Surabaya dengan harga yang fantastis menurutku yaitu lima puluh juta Man!! Dengan uang lima puluh juta di tangan langsung kulunasi cicilan sepeda motor Yamaha Jupiter kakaku, dengan tujuan agar yang ada di gambar itu tidak terjadi dikeluarga dekatku, lalu dua puluh juta kuberikan ibu dan ayahku dan sisanya yang dua puluh juta aku pakai untuk beli motor BMW tahun 50, sepeda gunung, minum bareng teman-teman dan untuk beli 10 kanvas, cat serta kuas, dan beberapa “JD” atau Jack Daniels minuman kesukaanku.

Namaku Arya, lengkapnya I Gede Arya Pratama, dan biasa dipanggil Arya JD, karena kebiasaanku minum Jack Daniel setiap hari dengan takaran tentunya, yaitu satu sloki sebelum makan siang dan satu sloki sebelum makan malam. Kadang-kadang suka kebanyakan minumnya, terutama kalau pas ada tamu atau teman yang dating dan mereka suka minum dan saat lagi melukis. Sehari-hari yang kulakukan adalah sembahyang di sangah, melukis, mencari obyek foto yang bagus, dan nongkrong bareng teman-teman club sepeda motor antic di Sanur. Dan aku sangat menikmati hidupku, uang akupun nggak susah-susah banget untuk mendapatkannya, lukisanku cukup lumayan laris dengan harga sekitar 5 sampai 20 jutaan (kadang lebih, cuma nggak sering). Dengan begitu hidupku makmur dan boros dan banyak teman yang mendekat, mungkin karena aku suka bayarin mereka minum.

Hanphone di kantongku mengeluarkan bunyi lagu …………milik Superman is Dead, band rock dari Kuta Bali yang akhirnya bisa masuk pasar nasional, dan khusus deprogram kalau ada telepon dari sahabatku, Dayu Kenanga.

“Hai Dayu”

“Om swastiyastu Arya, lagi dimana?”

“Lagi nongkrong di Sukawai, hunting moment yang tepat buat inspirasi lukisan”

“Kalau aku lagi di Yogya, aku pengen ketemu sama kamu nanti setelah pulang”

“Anytime Dayu, just call me first”

“Thanks Ya”

“Pengen ngomongin apa sih Dayu? Kelihatannya penting banget?”

“Cuman mau ketemu, dan ngajak kamu pergi ke Bedugul, sudah lama nggak kesana”

“Ok, kamu yang nyetir ya…khan aku nggak punya mobil, ntar hilang cantikmu kalau naik BMW ku”

“Ah..Arya, aku nggak pernah malu kamu boncengin BMW mu, cumin kamu yang nggak pernah mau boncengin aku”

“Ha..ha…ha…someday, aku pasti boncengin kalau aku sudah ganti jog belakangnya”

“Ok, see yu next week”

Aku dan Dayu bersahabat sejak SMA, dia cantik, tapi sedikitpun aku nggak pengen jadikan dia sebagai pacarku, aku lebih suka dengan gadis bule dengan kulit yang putih kemerahan kena sinar panas matahari. Dan karena itu maka sekarang aku pacaran dengan Jenifer, anak dari pengusaha Australia yang jatuh cinta dengan Bali, terutama dengan aku, Arya JD.

Bagiku Jenifer adalah segalanya, dia sekarang memiliki dan mengelola sebuah hotel kecil 20 kamar dengan kolam renang kecil berbentuk oval, restoran dan bar open air, dan setiap sore setiap hari senin, rabu dan jumat dia mengajar kursus bahasa inggris gratis di restoran itu. Murid-muridnya berfariasi, ada yang SMP, SMA, kuliah bahkan ada beberapa orang tua dengan umur diatas 35th. Di hari senin dia mengajarkan teorinya, seperti tata bahasa atau istilah kerennya grammar. Dan di hari rabunya di selalu melalukan bedah buku bahasa inggris, dari mulai buku anak-anak bergambar sampai novel. Kemudian di hari umatnya mereka betul-betul bersenang-senang karena Jenifer selalu menyelenggarakan hal-hal yang menarik seperti bagaimana membuat coctal, demo memasak oleh salah satu Cheffnya, atau berenang, atau diskusi tentang Bali dan kebiasaan dan kebudayaannya.

Dia sudah kurang lebih 6 bulan melakukan hal ini, ini membuat kelian banjar tempat dia tinggal sekaligus hotelnya menjadi sangat senang, karena sekarang banyak anak-anak muda yang tadinya menganggur bisa kerja part timer di tempat Jeniffer menjadi bar tender atau guide saat tamu dari hotelnya membutuhkan. Itu semua adalah hasil dari bimbingan Jeniffer. Nama hotelnya adalah Bali Banget hotel.

Siang itu panas matahari terasa enak sekali, mungkin ini karena aku tidak takut jadi hitam. Seperti biasa aku nyantai banget pakai sarung bali dengan corak batik coklat tua, dan baju lengan pendek motif bunga warna biru laut. Aku mengendarai BMW ku menuju ke hotel Bali banget. Soarang sekuriti dengan seragam sarung dan saput poleng hitam putih khas bali menyambutku.

“Om swastiastu Bli Arya” sambutnya sambil menyangkupkan kedua tangannya didepan dada.

“Om Swastiastu Bapa Mendra, Jeniffer ada?

“Ada bli, lagi berenang”

“Ok, tiyang langsung saja swimming poll”

“Nggih, durus..silakan Bli”

Bap Mendra adalah jagoan yang sangat disegani di wilayah situ, orangnya sangat sopan, tapi memang biasanya kalau jagoan sudah sampai pada tingkat yang cukup tinggi orangnya cenderung sopan, dan yang sok-sok itu biasanya jagoan yang tanggung.

Aku paling suka saat berenang bareng dia karena aku nggak pernah bosan melihat tubuh Jeniffer, aku sering bilang sama dia kalau keindahan tubuh Jeniffer Lopes adalah satu grade dibawah keindahan tubuhnya. Lalu katanya…”Dasar Seniman!”

Jenifer tidur di kursi kolam renang dengan kaca mata hitam, aku tahu dia tidur menikmati mathari siang itu. Dan sengaja aku berjalan memtar agar tidak terlihat olehnya, dan aku langsung ikut tidur di kursi yang berada disampingnya ikut menikmti panasnya matahari, dan aku ketiduran.

Tiba-tiba kurasakan ada seseorang menindihku dan menciumku, bibirnya hangat sekali dan aku tahu dia Jenifer.

“Jangan disini Jenifer”

“I’m just kissing your lips”

“Ya, tapi jangan disini, nggak enak dilihat karyawanmu”

“Ok, aku tahu kau mau, tapi aku menghargai Ke-balianmu, dan itu yang menyebabkan aku jatuh cinta sama kamu”

Dan dia beringsut dan berbaring disebelahku, kursi santai kolam renang itu pas banget untuk kami berdua, Jenifer memiliki tubuh semampai dengan tinggi 170 cm dan berat 50 kg. sangat sempurna dimataku, sekali lagi lihatlah Jenifer Lopez, nah seperti itulah tubuhnnya. Dan aku sendiri nggak besar dan nggak kurus, 176cm dengan berat 69 kg.

“Dayu ngajak ke Bedugul minggu depan setelah dia pulang dari yogy, kau bisa ikut”

“Of course I should go, aku nggak mau Dayu selalu disampingmu”

“Kamu selalu cemburu, she will never fall in love to me, dia Ida Ayu, dan aku sudra”

“Ya, but kamu sudra yang berhati bangsawan”

“Terserah kamu, aku lapar, kamu masak apa?”

“Mbok Made tadi masak sop dan ayam goring, ada sambel mentah kesukaanmu kok”

“O, makan sekarang yuk”

Dan kami makan siang, ngobrol tentang lukisan, tentang rencana Jenifer untuk ngajak aku pameran di Melbourne, dan dia bilang kalau ayahnya bisa bantu. Dan dia bilang kalau nanti menikah pengen punya anak 4 agar nama Bali bisa dipakai semuanya, yaitu, Gede, Made, Nyoman dan Ketut. Ya, kami berencana untuk menikah tahun depan. Kedua orang tua kami sudah setuju, Cuma aku saja yang kadang belum pengen untuk menikah. Kita berdua saat ini bisa dibilang sudah hidup bersama, aku sering tidur di rumahnya dan Jenifer juga sering tidur dirumahku. Semua saudaraku sudah tidak ada lagi yang memprotes apa yang aku lakukan. Aku selalu bilang ke mereka, this is my life, and I’m taking responsible of what I’m doing, I love her, and I will marry her when I want it to.

Aku pacaran dengan Jenifer kurang lebih sudah 2 tahun, kami bertemu di gallery miliku, saat itu dia dan orang tuanya sedang berlibur di Bali dan mereka masuk ke galeryku saat mereka jalan mau makan siang. Saat itu aku melihatJenifer sebagai gadis yang sangat cerdas dan global pikirannya, orang tuanyapun sangat santun. Mereka banyak bertanya tentang lukisanku, mengapa berbeda gaya dengan lukisan Bali pada umumnya? Dan banyak hal, sampai akhirnya aku diundangmakan malam di Hyat Sanur, tempat dia menginap bersama keluarganya. Jenifer anak tunggal, dan orang tuanya seorang pengusaha properti yang sukses di Melbourne. Mereka sudah berkali-kali ke Bali, pertama ketika Jenifer masih 3 tahu, kedua saat 12 tahun,ketiga saat 15 tahu, dan yang keempat sekarang saat usianya sudah 22 tahun. 22 tahun adalah usia dimana seorang wanita menuju matang secara kemandiriannya, dan secara bentuk tubuh, tang kedua adalah saat wanita itu mulai melhirkan anaknya yang pertama, ada dua resikonya, pertama menjadi tidak terkontrol alias overweight, kedua menjadi semakin berisi atau sintal tepatnya. Malam itu kami bicara banyak tentang Bali, kehidupan kita dan banyak sekali, sampai akhirnya Jenifer minta ijin kepada orang tuanya untuk jalan ke Bedugul denganku, dan orang tuanya mengijinkan, sambil berpesan,

“Arya, she is the only diamond we have, you take care of her”

Dan aku langsung jawab tanpa basa-basi

“I will sir”

Dari situlah hubungan kami terbina, dan Jenifer mulai sering bolak-balik ke Bali. Setelah menyelesaikan S2 Busines menagementnya di Australia dia memutuskan untuk tinggal di Bali dan akhirnya oleh ayahnya dia dibelikan sebuah cottage untuk dia kelola.

Siang itu setelah makan siang kami bercinta di kamar Jenifer, dan malamnya kami makan malam di pantai jimbaran. Makan sea food dan melihat lampu pesawat-pesawat boeing naik turun dari landasan ke langit membawa dating dan pergi orang-orang yang ingin menikmati keindahan Bali.

Lanjutkan ke bagian 7>>

Wayan dari Seberang (Bag 5)

DAYU KENANGA

Namaku Dayu Kenanga, lengkapnya Ida Ayu Kenanga Wangi, seperti biasanya pagi-pagi aku bangun untuk mulai hariku. Hari ini aku tidak mebanten, tugas itu kuserahkan pada Ni Loka, pemambantu dirumah yang sudah ‘mengabdi’ di griya tempat tinggalku selama 30 tahun, jadi dia lebih lama tinggal dirumah ini ketimbang aku. Setelah cuci muka, aku menyisir rambutku yang panjangnya kalau diurai kedepan bisa menutupi buah dadaku, cukup panjang untuk ukuran gadis seusiaku di jaman pemansan global seperti sekarang ini. Tapi aku suka rambutku. Aku keluar dari kamarku dan berjalan ke ruang makan malalui kebun yang kata temanku seperti hotel bintang lima, ya memang rumahku cukup besar, luasnya sekitar 1000m2 dan seperti rumah khas bangsawan bali ‘griya’ terpisah-pisah dan penuh dengan ukiran yang berlapiskan prada emas, tapi aku sendiri tidak merasa bangga akan hal itu, Cuma kawanku yang selalu memuji ketika mereka main atau menginap dirumahku. Pembantu dirumahku ada 6 orang, masing-masing punya tugas sendiri-sendiri. Dan dulu aku punya satu yang tugasnya Cuma mengurusi diriku saja, tapi semenjak kelas satu SMA, aku perintahkan dia untuk tidak pernah lagi mengurusku kecuali aku minta. Ya, aku hidup seperti putrid raja, dan memang aku putrid seorang keturunan raja.

“Kamu bangun kesiangan Dayu?’ Tanya Ibuku

“Ya, aku harus tidar pagi untuk menyiapkan proposal ke Pemda dan pakaian untuk perjalanan ke Yogya hari ini”

“Berapa hari kamu rencana ke Yogya”

“Mungkin satu minggu, karena tiyang rencana sekalian belajar dari kelompok PKK disana yang katanya sukses di bidang jasa rias pengantin”

“Dayu, Aji sama sekali tidak keberatan kamu melakukan semua ini, Cuma kamu harus ingat, kamu adalah penerus tunggal keluarga kita, kapan kamu mau member jawaban tentang Gus Putra?” Tanya Aji Gus Raka.

“Aji, tiyang belum bisa jawab, ini masalah hati”

“Hati bisa mengikuti setelah ada kemauan Dayu”

“Di dunia profesionalisme Aji betul, tapi ini masalah pasangan hidup, beda Aji”

“Aji bisa mengerti Dayu, tapi kamu juga harus mengerti bahwa kita punya keluarga besar yang kita wakili”

“Nggih Aji, tapi apakah hidup kita akan ditentukan oleh apa kata sudara kita yang belum tentu perhatian dengan masa depan kita?, Aji sendiri yang banyak membantu keluarga tidak pernah memaksakan kehendak terhadap orang lain apalagi saudara”

“Ehm…penerbangan kamu ke Yogya jam berapa Dayu?” kata Ibu menyela pembicaraan yang selalu berujung dengan kekesalan satu sama lain.

“Jam 09.00 Bu”

Aku merasa beruntung memiliki orang tua yang cukup moderat terhadap perkembangan jaman, mereka tidak pernah memaksakan kemauannya terutama yang menyangkut tradisi bahwa aku harus menikah dengan orang yang sederajat denganku ‘bangsawan’. Ya, sebagian teman dan saudaraku bilang bahwa aku beruntung, tapi sebagian lagi bilang bahwa keluargaku tidak bisa menjaga tradisi dan menurunkan derajat keluarga. Beberapa keputusan yang diambil ayahku tidak sejalan dengan apa kemauan mereka kebanyakan yang katanya menjaga tradisi. Ayahku memiliki manager pemasaran di kantornya Dayu Ika, dia dikucilkan oleh keluarga besar griya karena menikah dengan Gede Bajra orang kebanyakan alias ‘sudra’. Tapi kata ayahku, menikah itu adalah masalah hati, bukan masalah derajat. Setelah menikah Dayu ‘dibuang’ tapi oleh ayah, dia disuruh datang kerumah. Aku masih ingat, saat Dayu Ika menangis dipelukan Ibuku, dan Bli Gede duduk tegak diam, dan aku bisa merasakan betapa sesak dadanya berjuang atas nama cinta. Saat itu Bli Gede masih sebagai seorang guide dengan gaji pas-pasan dan belum punya rumah. Ayahku memberikan masukan kepada mereka untuk kontrak rumah sendiri, dan meminta Dayu Ika untuk ikut membantunya di kantor. Dan sekarang, Dayu Ika menjadi orang kepercayaan ayahku, Bli Gede memiliki restaurant khas Bali yang jadi langganan para turis asing berkat promosi teman-teman turis asing yang pernah dia layani saat liburan di Bali. Dan saudara ayahku tetap pada pendiriannya untuk mengucilkan mereka.

Pak Ari sopir keluargaku sudah siap didepan, dan aku masuk duduk disampingnya. Mobil meluncur dan aku lambaikan tangan kepada ibuku yang selalu berada didepan rumah saat aku pergi kemanapun. Aku sangat mencintai ibuku.

“Berapa hari di Yogya Dayu?”

“Paling lama satu minggu pak Ari, dan nanti saya telepon pak Ari kalau saya sudah tahu jadwal pulangnya”

“Dayu, tiyang sering dapat titipan salam dari Gus Raka, kalau pas ke griya temple mengantar titipan Ibu, katanya dia hanya mau pacaran sama Dayu”

“Pak Ari, sudah berapa kali bapak ngomong seperti ini ke saya, dan tolong sampaikan ke dia, suruh dia ngomong sendiri ke Dayu!, tiyang nggak suka laki-laki yang nggak gentle, beraninya ngomong ke orang lain, nggak berani ngomong sendiri”

“Nggih Dayu, selalu tiyang sampaikan ke Gus seperti yang Dayu pesan ke tiyang, dan selalu dia bilang nanti bila saatnya tiba”

Aku diam, sebel, karena ini bukan yang kedua kali atau ketiga kali, Gus Raka selalu menggunakan kekuasaannya untuk segala kepentingannya termasuk bilang cinta sama aku, dan terus terang aku mulai muak dengan gaya feodalismenya yang sudah nggak jamannya lagi. Sebenarnya orangnya ok, cakep, kaya, cukup pandai, sekolahnya juga cukup OK, Cuma gayanya yang buat aku nggak sreg, tapi ayahku beberapa kali menyinggung dia saat makan malam bersama. Dari cara Aji berbicara, terlihat sekali kalau dia menginginkan aku untuk berpacaran dengan Gus Raka dan nantinya menikah. Kami adalah saudara jauh, ayah Gus Raka adalah saudara jauh yang menjadi saudara karena perkawinan adik ayah dengan salah satu kerabat ayahnya Gus Raka. Ah..lebih baik aku pikirkan perjalananku ke Yogya dari pada buang energy memikirkan hal yang menurutku belum perlu dipikirkan.

Handphoneku bergetar…

”selamat pagi”

“Hai Dayu! Jam berapa sampai di Yogya, nanti aku jemput” suara yang keras dari seberang sana sangat nyaring terdengar, Laksmi, lengkapnya Ni Made Laksmi, sahabatku dari mulai SMA dulu yang kini sudah menetap di Yogya, menikah dengan pria pilihannya yaitu Erwin dari Yogyakarta yang berprofesi sebagai Wedding singer, atau penyanyi untuk acara perkawinan yang skalanya besar di Yogyakarta. Dan Laksmi sendiri menjalankan bisnis network marketing dan terbilang sudah mulai menuai kesuksesannya.

“jadwalnya sih jam 11.00 nanti landing di Yogya, kamu lagi dimana?”

“Aku lagi nungguin Sari di sekolahannya, khan dia sudah play group sekarang”

“Ya ampun, keponakanku sudah sekolah”

“Kali ini kamu mau nggak nginep dirumahku? Jangan di hotel”

“Nggak enak sama Erwin Laks, aku banyak muter-muter sampai malam, nanti malah ngrepotin”

“Kamu selalu begitu Dayu, ok kita bicara nanti saja, see U at the airport”

“Ok Laks, da….”

Dan aku sudah sampai di pintu depan check in domestic Ngurah Rai airport, aku sisipkan lipatan uang seratus ribuan kekantong baju depan pak Ari.

‘Nggak usah ngomong apa-apa, itu buat liburan sama anak-anak ke Tiara Dewata besok minggu, Suksma Pak Ari, samapai ketemu minggu depan”

Mulut pak Ari yang tadinya terbuka mau mengatakan sesuatu langsung tertutup, dan tersenyum. Dari senyumnya saja aku sudah bisa membaca bahwa dalam hatinya dia mengucapkan terima kasih yang luar biasa besarnya kepadaku dan Dia yang punya hidup.

Duduk dia dalam pesawat, aku langsung masukan earphone ke telingaku dan memejamkan mata menikmati U2..but I still haven’t found what I am looking for…”

Lanjutkan ke bagian 6>>

Wayan dari Seberang (Bag 4)

PERJALANAN II

Sudah dua minggu aku melakukan perjalanan ini, warna kulitku mulai gelap, dan kaki tanganku mulai mengeras seiring dengan terlatihnya ototku setiap hari. Dan yang penting aku sudah tidak pernah merasa mual, pusing atau sesak selama perjalanan seperti yang kualami waktu di Besakih 10 hari yang lalu. Mungkin kini aku mulai bisa mengukur batas kekuatanku sehingga aku selalu beristirahat sebelum rasa yang menyakitkan itu dating. Dan yang paling penting adalah aku sudah mulai menikmati perjalanan ini dengan hati yang sangat damai, aku bertemu banyak orang, aku melihat banyak kejadian, aku mendengar banyak cerita, dan aku mendapatkan IMPIAN. Ya, impian itulah yang ternyata membuatku semangat. Aku sangat yakin sekali bahwa aku akan mendapatkan wanita pendampingku di Bali dalam waktu yang aku sendiri tidak mengerti, tapi adrenalin semangat itu terasa sekali mengaliri darahku..and it’s beautiful day…kata Bono U2.

Ini hari ke dua aku bermalam di home stay tepi danau Bedugul. Aku sangat mencitai tempat ini, saat pagi hujan gerimis menembusi kabut tipis yang berada ditengah danau, udaranya yangan dingin kira-kira 15 derajat celcius, dingin! Untuk ukuran orang Indonesia kelahiran Semarang yang panas seperti aku. Sekitar danau masih hijau, masih cukup terjaga, hanya memang villa-villa baru sudah mulai cukup banyak bermunculan. Pagi itu aku memutuskan untuk berjalan kaki ke warung dipingir danau untuk sarapan mie rebus campur telor. Dan minum susu panas campur telor ayam mentah.

Pipi gadis penjaga warung itu memerah karena hawa dingin Bedugul, umurnya kira-kira 18 tahun, dia tidak banyak bicara wajahnya serius dan terus melakukan pekerjaaan apa saja di warung itu. Sementara pria yang membantunya mengangkat yang berat-berat seperti seember air badannya tinggi tegap dan kulitnya coklat kehitaman karena terbakar sinar matahari, sering mincing di tengah danau mungkin pikirku. Mereka berdua adalah pasangan suami istri muda yang belum dikarunia anak, mereka kawin muda beberapa saat setelah lulus SMA, dan sekarang mengontrak sebidang tanah untuk mereka pakai sebagai warung untuk penghidupan mereka sehari-hari. Mereka sangat bersahaja dan menurutku mereka jauh lebih bijaksana dari pada teman-temanku yang sudah lulus S1 atau S2 tapi sampai sekarang masih nganggur karena belum dapat kerjaan, dan mereka tidak malu-malu untuk tetap tinggal dirumah orang tuanya setelah orang tuanya mengeluarkan beaya ratusan juta rupiah untuk beaya sekolah mereka. Aku menikmati sekali ngobrol dengan pasangan ini, Namanya Ketut Rati dan Made Bajra. Ketut yang terlihat pendiam ternyata sangat periang saat menceritakan bagaimana dia pertama kali bertemu dengan suaminya saat numpang angkutan desa bersama, katanya dia memang sudah sering memperhatikan Bli Made, karena dia selalu mengalah terhadapa penumpang lainnya sehingga dia akhirnya bergelantungan di pintu belakan angkutan sambil membantu menggendong bawaan ibu-ibu yang ada di dalam angkutan. Sampai suatu saat hujan deras, dan angkutan yang mereka terperosok di kubangan lumpur, Made dan beberapa lelaki harus mendorong agar roda mobil bisa naik dari kubangan itu. Memang mobil bisa naik tapi wajah dan tubuh para pendorong itu penuh dengan cipratan lumpur, lucu sekali dan kata Ketut secara tidak sadar dia memberikan sapu tangannya kepada Made untuk mengusap lumpur dari wajahnya. Wajahku berubah serius saat mendengarkan cerita yang luar biasa romantisnya itu. Dan katanya wajah Made saat itu juga bengong saat disodori sapu tangan, tapi dia menerima dan membersihkan wajahnya dari lumpur.

“Bli Wayan, hanya satu kata yang membuat hati tiyang berdebar saat itu, Suksma..katanya”

Lalu semua kembali seperti biasanya tapi tidak untuk kami berdua, yang tiyang rasakan saat itu adalah, tiyang jadi semangat bersekolah, karena pengen bertemu dengan Bli Made dan hidup tiyang merasa lebih indah dan bergairah kerana nggak tahu, tiyang hanya merasa yakin bahwa hidup tiyang nanti akan bahagia karena punya suami seperti Bli Made.

Mendengar cerita itu, Made hanya tersenyum dengan mata berbinar memangdani istrinya. Dan aku, sulit sekali menceritakan perasaanku, tapi kira-kira seperti ini, indah sekali cerita cinta dan kehidupan mereka, mereka orang desa yang fasilitasnya jauh lebih sedikit disbanding aku yang orang kota, dan mengapa aku tidak memiliki cerita seindah cerita mereka. Aku iri?? Ya! Tapi aku tidak mau mengakuinya, tapi aku harus belajar untuk bersyukur bersama mereka atas kehidupan yang sudah mereka ceritakan.

“Kalau Mas Wayan, bagaimana? Pacarnya orang mana?” Tanya Ketut.

“Aku belum punya?”

“Mana mungkin orang seganteng mas Wayan belum punya” kata Made sambil tertawa kecil sebagai tanda tidak percaya.

“Ya, aku belum punya, makanya cariin dong Made”

“Mas Wayan harus cari sendiri, pasangan yang kita dapatkan sendiri dari hasil pencarian kita sendiri jauh lebih baik dari pada yang dicarikan oleh orang lain”

Sialan, pikiranku seperti ditampar balik oleh jawabanku yang basa-basi tadi, ya tentu aku harus mencari sendiri, dan aku memang sedang mencari, mengejar gadis di dalam mimpiku.

“Ya, kalian betul, aku memang harus cari sendiri, nanti kalau sudah dapat aku ajak dia kesini”

“Baik, kami tunggu lo Mas Wayan”

Dan kami meneruskan obrolan kami tentang hal lain, setelah beberapa pelanggan masuk dan ikut larut dalam hangatnya suasanya warung mie rebus di pinggir danua Bedugul.

Matahari mulai naik dan udara hangat mulai terasa masuk disela-sela udara yang dingin tadi, dan gerimis serta kabut tipis juga mulai ikut hilang, aku naik angkutan mengelilingi bukit menuju ke lokasi wisata danau Bedugul dari sisa yang lain yaitu ke pintu utama. Aku memutuskan untuk menghabiskan siang di restoran bamboo di pinggiran danau sambil mentransfer dan merapikan ke laptop gambar-gambar foto yang kuambil saat perjalannku dua minggu mengelilingi Bali. Tidak terasa ternyata, aku menyimpan sekitar 859 gambar tentang perjalananku, dari mulai pemandangan, arsitektur, landscape, sampai manusia, aku rapikan filenya dengan nama-nama yang mudah diingat, dan beberapa gambar favorit dengan hasil yang baik aku pisahkan. Aku harus apakan gambar2 ini pikirku? Apakah akan kubuat hanya untuk diriku? Nggak boleh, harus aku share ke banyak orang agar siapa tahu orang lain bisa mendapatkan gunanya dari perjalananku ini. Berarti jalan keluarnya adalah “blog”. Tepat pk. 11.00 pagi menjelang siang, aku memutukan untuk membuat blog dengan judul “Bali masih sehat, dan Bali akan sehat”. Keren juga pikirku, rencananya akan kubuat dalam dua bahasa “Bali is healthy and will always be healthy”


Lanjutkan ke bagian 5>>

Wayan dari Seberang (Bag 3)

PERJALANAN

Tiga hari sudah aku mengunjungi keluarga-keluarga dekatku, ayahku selalu menekankan bahwa aku tidak boleh kemanapun sebelum mengunjungi semua keluarga dekatku., setelah itu baru boleh melakukan yang lain. Dan sekarang saatnya untuk mempersiapkan perjalananku. Aku pinjam sepeda motor milik Pasih untuk ke Denpasar mencari sepeda. Setelah pilih-pilih, aku putuskan beli sepeda gunung Pollygon seharga 1 juta, dan kulengkapi dengan peralatan seperti tas samping, lampu dan perlengkapan perjalanan jauh lainnya. Dan aku juga beli tenda+sleeping bed untuk berjaga-jaga kalau pas kamalaman di jalan.

Siang itu aku ditepi pantai semawang sanur, aku duduk di sebuah café, aku minum bir sambil merencanakan perjalanku diatas selembar peta pulau Bali. Sanur, aku lingkari desa yang dulunya kecil dan bermetaforfosis menjadi sebuah kota kecil dan berbagai keramaian dan memiliki puluhan hotel berbintang. Ada dua pilihan ketimur atau kebarat dulu?.....kuambil sekeping uang receh 500an dan kuputar diatas meja, timur bila angka dan barat bila garuda yang muncul. Kutindih uang yang beroutar itu dengan tangan kananku, dan kubuka…..”500”..langsung kuarahkan pena ke Gianyar, Klungkung, dan Karangasem. Dan kuteruskan melingkari pulang Bali sampai di Bedugul, kemudian Singaraja, Negara, Tabanan, Tanah Lot, Kuta, Nusa Dua dan akhirnya kembali ke Sanur. Sengaja aku tidak merencanakan dimana aku akan bermalam, karena aku benar-benar belum tahu. Dan yang terakhir adalah..aku harus beli kaca mata, dan aku ingin yang agak bagus, makanya langsung aku genjot sepedaku ke Denpasar dank e sebuah optic di sebuah Mal di dekat jalan Jend. Sudirman, sekalian aku beli sebuah buku saku panduan perjalanan keliling pulau Bali.

Siang itu nggak begitu ramai, dan di hall utama ada banyak ibu-ibu yang duduk dan memperhatikan seorang wanita yang “cukup lumayan” menurutku, dia begitu bersemangat berbicara sambil tangannya terus memijat wajah dari seorang ibu yang duduk didepannya. Aku berhenti sebentar dan memperhatikannya, dia berbicara dengan sangat lembut tapi aku merasa ada semangat yang besar dalam suara itu, dan aku terus memperhatikan.

Katanya “Bahwa kulit harus dipelihara, dan saat ibu-ibu dapat melakukan semua ini, ibu pasti bisa melakukannya dirumah untuk cari uang tanpa harus menunggu mendapatkan uang dari suami, kita wanita harus mandiri, tapi kalau dikasi uang suami yang terima saja..” (semua pengunjung yang mendengarkan tertawa) khan bisa ditabung atau untuk hal lain yang berguna”

Boleh juga pemikiran anak ini (aku bilang anak karena setelah kuperhatikan dia kurang lebih seumurku). Aku putuskan untuk tetap diam dan mendengarkan, sampai akhirnya…”Pak, bisan bantu saya” kata wanita itu sambil menunjuk ke arahku.

“Saya?”

“Ya, anda”

Aku mengangguk dan maju kedepan ke arahnya.

“Ibu-ibu sekalian, suami dirumah juga bisa diajak untuk membantu, misalnya…ee..bapak namanya siapa ya? Aduh minta ampun…matanya itu dan dia ternyata cantik sekali…..”namanya siapa gus? Tanyanya sekali lagi sambil senyum-senyum, dan semua pengunjung tertawa mentertawakan aku.

“e..e..saya Yanto”

“Dari jawa ya mas?”

“Ya, semarang”

“OK, mas Yanto tolong ambilkan……setelah itu aku Cuma melakukan semua yang dia minta sampai acara selesai dan kami bersalaman, dan dia bilang “terima kasih mas Yanto”

Dan aku Cuma bilang “OK, sama-sama” dan aku pergi meninggalkannya sambil berfikir bahwa kelihatannya aku pernah melihat gadis ini, hanya dimana? Aku sendiri lupa, tapi dia “ jegeg sajan”

Dan aku segera meneruskan rencanaku untuk beli sunglasses untuk perjalananku.

Sore itu, udaranya sedikit mendung, dan aku mempersiapkan sepedaku dan semuanya, dan setelah semua beres, aku mandi dan memakai sarung dengan kancut didepan, plus selendang untuk pergi ke Sanggah bersembahyang untuk mohon restu perjalananku besok.

Pagi-pagi aku sarapan nasi campur Bali, dan minum vitamin. Dan setelah pamitan ke Bapa Roti, Me Made, Pasih dan Tukad aku mengayuh sepedaku ke arah baypass Sanur Padanggalak, aku kayuh sepedaku perlahan sambil menyapa beberapa tetangga yang sedang menyapu jalan depan rumahnya, lagu U2 “with or without you” mengawali perjalananku. Ya, Bono adalah orang luar biasa, pengaruhnya besar, perjuangannya untuk rakyat miskin dunia juga luar biasa, sayangnya banyak temanku yang jadi penganut “Bonoisme” yaitu berjuang melalui petisi-petisi yang dikirim lewat internet, konser musik amal yang hasilnya disumbangkan dan lain-lain yang sejenis dengan hal-hal itu. Bukan aku tidak setuju, cuman bayangkan kalau semuanya berjuang seperti itu, kapan mentasnya orang-orang miskin tersebut, makanya aku ambil jalan lain yaitu buka warung bakso yang sekarang 10% dijalankan oleh Parman dan Budi assitennya. Dan aku sudah mulai bisa mersakan yang namanya “passive income” yang ditransfer oleh mereka diakhir bulan, mulai bulan ini. Ceritanya sebelum berangkat ke Bali, aku ajarin Parman untuk bisa membuat pembukuan sederhana, yaitu pengeluaran berapa dan pemasukan berapa, dan sisanya itu untung untuk kita bagia bertiga setelah dikurangi “tabungan perusahaan” atau istilah kerennya penyusutan sebesar 10% dari keuntungan.

“10% ini akan jadi banyak dan kita bisa buka cabang lagi di Tegal tempat asalmu” kataku kepada Parman, dan terlihat wajahnya sangat sumringah. Itu caraku mengentaskan kemiskinan, dan memang Cuma dua orang yang terkena efek secara langsung, tapi yang nggak langsung aku yakin banyak, contohnya : ibu Puji penjual sawi, pak Bejo penjual daging sapi, Supri tukang parker didepan warung bakso kita, belum saudara-saudara Parman yang sering dikirimi uang untuk beaya sehari-hari dan sekolah. An kata Parman adiknya sekarang sudah mulai buka warung kelontong di kampunya Tegal dengan modal dari uang yang setiap bulan dia kirimi. Dan semenjak saat itu aku percaya bahwa sekecil apapun yang kita lakukan atau berikan efeknya adalah tidak sependek apa yang kita pikirkan.

Matahari pagi itu hangat sekali, dan aku mulai mengayuh sepedaku dengan cukup cepat, dan pantai sanur disebelah kanan jalan terlihat tenang dengan riak ombak kecilnya, kemudian aku mengambil jalan kesebelah kanan memutar menuju ke bypass menuju ke Batubulan, lancer sekali perjalanan ini tak terasa aku sudah di pertigaan patung “No Problem” yaitu bayi raksasa. Ini disebut patung no problem karena dulu ada sticker yang dijual bebas dengan gambar bayi lucu dan ada tulisan no problem dibawahnya. Dan aku meluncur kea rah kota ubud, dan makan siang disana. Ubud tidak banyak berubah akhir-akhir ini, masih tetap tenang dengan vila-vila super mahalnya, tentunya bagi aku, tapi bagi orang-orang kaya uang segitu nggak ada apa-apanya. Bayangkan uang 5 juta hanya dipakai untuk nginap semalam. Ada juga sih yang murah yang Cuma 100 ribuan dan sebenarnya kamarnya nggak jauh beda sama-sama ada kasurnya, sama-sama ada kamar mandinya, sama-sama ada terasnya. Yang membuat beda adalah nilai Rupiah (beli) dari ketiga hal tersebut beda, dan yang melayani juga beda. Ya itulah kehidupan ada yang mahal ada juga yang murah, ada yang kaya ada juga yang miskin, ada yang rajin ada juga yang malas, dan aku mulai ambil kesimpulan bahwa yang namanya perfect world itu bukannya semua sama tapi dimana ada keseimbangan antara sesuatu yang berlawanan, jadi aku memang harus berhadapan dengan semua itu. Setelah makan siang kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Kintamani, dan aku menginap disana. Aku menginap di sebuah homestay milik dari sepasang suami istri yang masih muda menurutku kira-kira 35 tahunan dan punya 2 anak yang pertama Putu kelas 5 SD dan yang kedua Kadek kelas 2 SD. Sang suami sambil menjalankan bisnis homestaynya juga melukis dirumah dan sang istri seperti wanita Bali pada umumnya menghabiskan waktunya untuk melayani Tuhan dan keluarga, pagi bangun pergi ke pasar dan pulang sampai dirumah menyiapkan sarapan untuk suami dan kedua anaknya. Dan setalah itu membersihakan rumah dan homestaynya, dan kemudian “mejahitan” (menyiapkan sesaji) disamping suaminya yang sedang melukis. Dua malam aku menginap disana, aku habiskan waktuku untuk beramain bola bersama Putu dan teman-temannya, naik ke gunung Batur dan berendam di kolam hangat dipinggir danau Batur, tempat yang sangat indah. Dan aku berkesempatan mengajari suami istri tersebut membuat bakso sendiri, dan mereka senang sekali. Dan pagi itu aku pamit dan mereka berempat melambaikan tangan didepan rumahnya, dan aku merasa hatiku sangat hangat sekali. Medan kali ini cukup berat, jalan menuju ke pura Besakih naik turun, beberapa kali aku harus turun dan mendorong sepedaku karena jalan naik yang cukup tinggi dan panjang, tapi pemandangannya indah sekali. Dan akhirnya aku sampai di Pura Besakih, dan langsung aku terlentang diatas kursi panjang sebuah warung makan Bali. Paru-paru ini rasanya mau meledak dan kaki serta pantat serta tangan terasa sangat tegang sekali. Ibu pemilik warung itu langsung keluar, “ada apa gus? Kamu nggak papa, saya panggilin dokter ya” katanya gugup

“Nggak usah..nnnggak uss..sah Bu..” jawabku sambil kesulitan bicara karena nafas yang naik turun ini. Kepalaku rasanya pening sekali dan isi perut rasanya mau keluar. Dan dalam keadaan seperti ini aku terbayang ayahku, ibuku yang tidka pernah tahu kalau aku melakukan perjalanan ini, aku lupa pamit ke mereka, aku terbayang Parman sedang jualan bakso, dan tiba-tiba aku merasa takut sekali dengan keadaanku, aku merasa bahwa aku tidak melakukan banyak hal untuk membuat mereka kedua orang tuaku berbahagia, aku sibuk dengan pencarianku sendiri, dan aku ingin sekali pulang….

Yang pertama kali kulihat adalah bedeg anyaman bamboo warna coklat mengkilat karena vernis, pertama samar-samar dan terus berubah menjadi nyata, lalu kulihat meja kecial disebelah kanan dengan alat pengukur tekanan darah diatasnya dan beberapa suntikan yang masih disegel, aku di ruang kerja seorang bidan atau dokter! Begitu saja pikirku. Aku berusaha untuk bangun, tapi kepala ini berat sekali, dan seorang perawat menyingkapap korden pembatas, “Sudah bangun bli Wayan? Katanya sambil menyentuh jidatku seperti seorang ibu menyentuh jidat anaknya yang sakit panas, aku mengangguk.

“Istirahat dulu saja, bli Wayan ada di puskesmas desa Besakih, tadi pingsan didepan warung Me Gita, dan saya Kadek, perawat disini, sebentar tiyang ambilkan mie rebus panas ya”

Dan aku Cuma mengangguk lemas, kepalaku rasanya masih berputar. Sekarang aku mulai ingat, aku bersepada semangat sekali dari Kintamani, dan jalannya naik turun, aku minum terlalu sedikit dan sarapan terlalu sedikit Cuma roti tawar dan telur rebus saja, aku paksakan diriku untuk cepat sampai di Besakih, dan akhirnya aku sampai di depan sebuah warung, lalu ada wanita yang menanyaiku dan setelah itu aku seperti sekarang ini di kamar puskesmas ini.

“Mbok Kadek, tolong minta air putih hangat” teriaku lirih.

Nggak lama, Kadek dating membawa segelas teh hangat segelas,”minum the manis hangat saja biar cepat pulih”

Aku minum cepat sekali, keinginanku hanya satu, cepat sembuh, dan mekemit di Besakih.

“Bli wayan mau ke kamana? Dari jawa ya? Tadi saya sempet lihat ktp-nya” semua itu diucapkan dekat logat Bali yang jelas “the” nya, terdengar seperti nyanyian ditelingaku.

“Ya dari Jawa”

“Naik sepeda dari Jawa?”

“Tidak, dari Sanur”

“Trus setelah ini mau kemana?”

“Mekemit di Besakih, dan terus keliling Bali”

“Pengen tahu Bali ya Bli?

Aku mengangguk.

Mbok Kaded keluar dan masuk lagi membawa mie instant rebus yang panas.

“Wayan makan mienya dan kalau mau nginap disini silakan sudah saya sampaikan ke penjaga malam disini tentang Wayan, saya pulang dulu nanti malam saya kesini untuk cek kesehatan Wayan” Aku merasa lebih nyaman dengan panggilan tanpa “Bli” karena aku rasa umur Kadek tidak jauh berbeda denganku. Aku makan mie rebus itu panas-panas, dan setelah itu aku tidur lagi.

Suara dentingan sendok beradu piring membangunkan aku, tampak Kadek dengan kebaya dan jarik sederhana, berselendang batik tua kecoklatan, dan potongan bunga kamboja di telinganya. Dia tampak lain dengan pakaian putih perawatnya tadi sore.

“Sudah enakan Wayan?

“Ya” dan aku sudah mulai bisa bangun dan duduk di tempat tidur. Lalu aku coba untuk turun dan berjalan dan aku merasa jauh lebih baik dari tadi sore, kuteruskan berjalan mengikuti Kadek ke ruang depan di lorong tunggu pasien.

“Tiyang sudah lapor ke Kelian banjar melaporkan tentang Wayan, dan mungkin nanti beliau akan datang menengok, semua peralatan wayan ada dirumahnya”

Tidak lama kemudian ada 3 orang laki-laki dating dan akupun langsung berdiri menyambutnya.

“Om Swastiastu”

“Om Swastiastu”

Nyoman Ringin, Made Brata dan Gina, mereka bertiga adalah pengurus Banjar dimana aku berada. Kami bicara, dan aku memperkenalkan diri dan sedikit menjelaskan tentang tujuan perjalananku. Dan mereka menjelaskan bahwa mereka menyimpan semua perlengkapanku karena prosedur keamanan banjar saja. Mereka luar biasa sambutannya dan semua menawarkan rumahnya sebagai temoat aku menginap, dan aku memutuskan untuk menginap di puskesmas saja. Dan ternyata Kadek adalah anak kedua dari Bapak Nyoman Ringin, kelian Banjar disini. Setelah lulus sekolah perawat di Surabaya memutuskan untuk kembali kedesanya dan bekerja di puskesmas sebagai tenaga honorer.

“Honorer kan uangnya sedikit, mengapa tidak bekerja di jawa saja agar dapat uang banyak?’ tanyaku.

“Sebenarnya bukan Cuma karena itu, tapi karena pacarnya orang sini yang buka artshop di Besakih” kata pak Nyoman.

Aku tersenyum dan mengatakan “Pacar Kadek sangat beruntung”

“Dan Wayan sendiri…e..maaf…pacarnya orang mana?” pak Nyoman terlihat menyesal menanyakan hal itu kepadaku, tapi sudah terlanjur.

“saya belum punya pak Nyoman, teman banyak tapi nggak tahu saya belum ada yang sreg”

“Jadi belum pernah pacaran?” tanyanya polos

“Kalau cuman pacaran-pacaran sih pernah” aku mulai merasa nyaman tinggal disini pembicaraan mulai mengalir deras sekali tanpa kompromi. Mereka orang desa yang sangat polos dan aku orang kota yang belajar untuk jadi polos. Sampai akhirnya pak Gina angkat bicara.

“Cari orang Bali saja mas Wayan, agar tetep jadi orang Bali dan sudah ngerti aturan-aturan sebagai orang Bali. Dari pada nanti dapat orang Jawa trus nanti tidak mau ikut Hindu, lama kelamaan Mas Wayan pasti ikut istri demi keutuhan keluarga”

“Khan agama semuanya sama pak Gina?” tanyaku

“Ya memang betul semua sama, Cuma bagaimana nanti para leluhur yang ditinggal, nanti malah masa depan mas Wayan nggak kebenaran”

Orang Bali sangat percaya dan sangat menghormati leluhurnya, dan itulah salah satu alas an mengapa sampai sekarang ini aku masih sebagai orang Hindhu. Aku tidak tahu banyak tentang agama Hindhu tapi aku sangat percaya dan menghormati para leluhurku. Itu saja.

Pak Brata yang umurnya lebih muda ikut bicara.

“Kalau menurut saya, orang Bali juga nggak kalah cantik dengan orang Jawa lho Mas Wayan, coba mulai sekarang buka mata lebar-lebar saat melakukan perjalanan keliling ini, boleh mencari spiritual tapi perlu juga refreshing yang segar-segar”

Dan kami semua tertawa.

Tidak terasa sudah jam 11.00 malam, dan ketiga pria itu pamit dan mempersilahkan aku untuk beristirahat.

Aku tidak bisa langsung tidur, aku masih memikirkan semua pembicaraan tadi dan juga Kadek. Memang orang Bali nggak kalah cantik dengan gadis pulau lain di negri ini. Wajah Kadek terlintas di benaku, khas Bali dengan wajah bulat rambut hitam sebahu, pinggul bulat jelas terlihat saat dia mengenakan kebaya tadi sore, pinggangnya juga ramping dan bunga putih di telinganya itu yang membuat wajahnya enak sekali untuk dibayangkan. Dan…Tapi dia sudah punya pacar Yan!!! Tiba-tiba bagian dari diriku bicara di kepalaku. Dan aku tersenyum sambil memukul pelan pikiranku yang mulai liar ini. Selimut di puskesmas ini cukup tebal untuk membuatku tidur nyenyak semalam tanpa terbangun.

Pagi yang sangat cerah, selesai mandi aku menemui Kadek di kantor Puskesmas, aku ucapkan terima kasih dan aku bilang kalau aku mau cari home stay dekat Besakih dan juga aku meninggalkan nomor handphone dan alamat rumah Pamanku di Sanur. Dan dia tersenyum tulus sekali, dan dalam hati aku berucap selamat untuk pacar dari wanita Bali yang setia ini.

Sebelum cari home stay aku mampir di warung tempat aku pingsan kemarin dan sebagai ucapan terima kasih aku sarapan disana. Ibu itu banyak cerita tentang kondisi Besakih sekarang ini, katanya kalau disbanding dengan beberapa tahun yang lalu sebelum bom meletus di Kuta, ya jauh sekali. Hanya sanya mimic wajahnya sedikitpun tidak menunjukan rasa sedih atau kecewa karena berkurangnya jumlah turis. Katanya, hanya orang bodoh yang mengaku kalau ngebom itu tindakan yang benar menurut agama. Dan aku setuju dengan ibu yang Cuma lulus SMP ini. Atas sarannya aku langsung menuju ke Besakih home stay yang terletak tidak jauh kurang lebih 100m dari Pura Besakih. Stelah check in, aku ganti dengan sarung berkancut tengah, saput kuning dan kaus putih, selendang batik pemberian Ibuku dan udeng batik yang kupinjam dari Tukad. Aku pergi ke Pura Besakih untuk sembahyang. Genitri yang kubeli di pasar seni Sanur aku kalungkan di leherku dan kumasukan ke dalam kaus agar tidak terlalu mencolok, malu rasanya dilihat orang banyak nanti dikira orang yang tahu banyak tentang agama, intinya aku merasa belum percaya diri didepan umum dengan barang yang satu ini, mungkin aku takut dikira terlalu agamis.

Pura Besakih memang luar biasa, aku baru kalau tidak salah 3 kali mengunjungi pura ini, dan sekarang adalah yang ke empat. Kunjungan yang ketiga adalah ketika aku masih duduk di bangku SMA, itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan sekarang perasaan yang sama masih terasa dalam hatiku. Aku merasa belum kenal dengan ‘yang disini’ hatiku merasa gelisah tapi yakin bahwa ‘mereka’ akan menerimaku. AKu langsung menuju ke bagian utama pura, yaitu sebauh tempat terbuka beralaskan batu dengan 3 padmasana yang tinggi mewakili adanya Sang Hyang widhi di Besakih. Aku ambil bunga dan aku bersila tepat didepan padamasana yang berada di tengah, dan aku mulai hening.

Aku belajar tentang ‘hening’ dari seseorang yang kukenal di kampus, Bambang namanya, orangnya kecil terlihat rapuh namun jangan lihat matanya, saat kita lihat tubuhnya yang terpikir adalah betapa lemahnya orang ini, tapi setelah kita bertatapan dengan matanya, sirna sudah semua kelemahan dibenak kita, yang ada adalah keyakinan, keteduhan dan kesabaran. Dari kecil dia sudah belajar tentang kejawen dari seorang tua yang tinggal di kampungnya, dank arena dia bersahabat dengan orang tua itu, maka setiap orang tua tersebut berbicara kepada para pengikutnya Bambang selalu berada disampingnya, mendengarkan semuanya. Samapi akhirnya dia bisa memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang dengan sentuhan tangannya dan dengan doanya. Kata Bambang semua adalah atas kehendakNya. Dia tidak pernah ke gereja, ke mesjid , ke pura, ke wihara ataupun ke tempat-tempat ibadah pada umumnya, tapi dia selalu ke gunung, ke pantai dan ketempat-tempat yang menurutku adalah tempat yang cocok untuk berwisata menenangkan pikiran. Menurutnya tempat ibadah adalah sama dengan ketenangan hati, katanya kita semua boleh beribadah dimana saja, dan akupun beribadah dimana saja, hanya saja yang kau lihat adalah aku merenung dan bicara kepada Tuhan di gunung dan di pantai, tapi sesungguhnya aku bicara kepadaNya dimana saja.

Secara hati dan sikap Bambang tidak ada duanya, hanya saja dia nggak pernah bisa pacaran lama, karena dia tidak pernah bisa menjawab ketika ditanya oleh orang tua pacarnya saat apel yang keberapa kali tentang “agamamu apa nak Bambang?” dia tidak pernah menjawab, karena memang gurunya tidak pernah memberitahukan tentang hal itu, katanya ke beberapa teman dekatnya salah satunya aku, “aku memang tidak punya agama, tapi aku percaya akan adanya Allah pemilik alam semesta ini. Dan karena birokrasi dan lain-lain di KTPnya tertulis HINDU. Aku pernah bertanya kepadanya, mengapa kau tuliskan Hindu di KTPmu, jawabnya, Hindu adalah yang paling mirip dengan apa yang aku jalani.

Setelah melantunkan Tri Sandya dan mebakti, aku melakukan apa yang diajarkan oleh Bambang yaitu hening, aku serahkan semuanya kepadaNya, semua kegelisahanku dan kesenanganku. Aku sendiri tidak tahu apakah aku sudah mencapai apa yang namanya hening, karena Bambang bilang bahwa bila nanti saatnya tiba maka kau akan tahu, karena aku sendiripun belum tahu. Bambang tidak pernah menyiarkan apa yang dia percayai, dia hanya menjawab apa yang ditanyakan oleh teman-temannya. Menurutnya kepercayaan itu tidak bisa disiarkan,tapi harus dilakukan. Kami sering ngomong kalau sebaiknya dia jadi dukun “psikologi modern” karena gayanya yang klenik dan petuahnya yang sangat bijak. Dalam hening itu aku merasa melakukan perjalanan…lalu…

Orang tua itu tersenum kepadaku dan berbicara “Anak muda, kau lihat wanita yang sedang mengembalakan rusa di pinggir sungai itu? Dia juga sama seperti kau di sedang mencari, mungkin kau bisa bersama-sama dengannya dalam pencarian itu” Dan aku melihat seorang wanita dengan pakaian semua serba putih, wajahnya tenang, dan terlihat dia mencuci pakaian dengan tenang dan senang, dan dia menoleh sebentar ke arahku dan tersenyum.

Orang tua itu meneruskan pembicaraannya,”manusia memang harus mencari, karena saat mencari itulah menjadi saat yang penting baginya, tapi kau tidak boleh lupa untuk membagi karena disitulah bahagia itu ada”

Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun, aku takjub dengan orang tua itu, dan aku takjub dengan ketenangan wanita yang terus memberi makan rusa, sangat damai dan semua rusa itu terlihat sangat menghormatinya. Dan suara gesekan sapu lidi di luar kamarlah yang membangunkan aku dari mimpi yang damai itu. Mencari!...ya…memang aku harus mencari.

Aku terhenyak dari heningku….dia dating lagi..ya mimpi yang dulu kudapatkan sekarang datang dalam heningku. Satu step lebih tinggi dari mimpi ke hening. Siapa orang tua itu dan siapa wanita itu. Bambang pernah bilang kepadaku kalau aku dilindungi oleh leluhurku, yang selalu mendampingiku dan membantuku. Aku sulit sekali memahami apa yang dikatakan Bambang, agar mudah aku simpulkan bahwa dia ‘guardian angel’ untuku. Aku pernah mendesak Bambang tentang cirri-ciri leluhurku yang mendampingiku, dia Cuma bilang “rambutnya digelung diatas seperti rambut Mahapatih Gajah Mada, dan tubuhna terbungkus kain putih seperti para Mpu di jaman Majapahit. Dan manusia memang selalu mencari yang termudah untuknya, naluri, maka kusimpulakn bahwa orang tua dalam mimpi dan heningku adalah leluhurku. Lalu siapa wanita itu?


Panas matahari pk. 10.00 pagi sudah mulai terik, aku masih ingat ketika aku SMP dan berlibur ke Bali. Matahari jam 10.00 pagi masih terasa enak dikulit, tapi sekarang..minta ampun panasnya. Aku segera berdiri dan berjalan ke depan untuk ‘nunas tirta’

‘Pemangku’ tua itu berjalan pelan sekali, dia tersenyum kepadaku dan akupun membalasnya..”Om Swastiyastu” kataku sambil mengatupkan kedua telapak tanganku didadaku, dan diapun membalasnya

“Om Swastiyastu..sudah mebakti anak muda?”

“Sampun Pemangku, tiyang mau nunas tirta”

Lalu orang tua itu mulai mencipratkan air suci kekepalaku tiga kali, kemudian menuangkan air suci ke tanganku tiga kali untuk kuminum dan satu kali kuusapkan kewajahku, lalu mencipratkan tia kali lagi ke kepalaku. Dia tersenyum saat memberiku bunga yang kusisipkan di telingaku dan beras untuk kutempel didahiku dan di leherku lalu kumakan sisanya.

“Apa yang kau cari anak muda?” katanya

Sekali lagi aku terhenyak, dari mana dia bisa tahu aku aku sedang mencari sesuatu. Aku tidak langsung menjawab, hanya memandangnya sambil berkerut.

“Manusia memang harus mencari agar dia mendapat, karena burungpun harus terbang untuk mendapat biji untuk dia makan”

“Tiyang tidak tahu harus mulai dari mana Mangku”

Matanya tetap teduh dan dia menganguk-anggukan kepalanya

“Nanti malam jam 11.00 Bapak mau mekemit disini, silakan kalau mau ikut” lalu dia pergi dan melakukan kesibukannya untuk memberikan air suci kepada umat yang bersembahyang disitu.

Aku diam dan kupandangi Padmasana dari bagian bawah sampai bagian atasnya sampai akhirnya aku melihat matahari tepat berada diujung Padmasana. “apakah ini jalan menuju pencarianku Sang Hyang widhi?”

Jam 10.45 malam aku keluar dari penginapan dengan jaket tebal menahan udara dingin di lereng gunung Agung, aku berjalan ke Pura Besakih. Cahaya lampu yang temaram dibantu sinar bulan yang cukup terang menciptakan bayangan-bayangan tipis Pura yang sangat besar dan luar biasa…sangat indah. Aku masuk ke Pura dan Pemangku tua itu sudah duduk bersila didepan padmasana, dan setelah mengambil bunga aku ikut duduk disebelahnya, agak jauh kira-kira 2 meter disebelah kirinya, aku takut menggangu keheningannya. Dan aku pun sembahyang, aku tidak meditasi tapi aku duduk diam, melek dan menunggu Pemangku tua itu menyelesaikan keheningannya. 15 menit sudah aku duduk dan Pemangku itu tetap diam dalam heningnya, akhirnya tepat dimenit ke 17 dia bergesar dan berdiri. Dia melihatku dan berkata ,

“Ikuti aku”

Aku mengikutinya danpa mengeluarkan sau suarapun, suasananya sangat hening, seharusnya damai, tapi ada sedikit perasaan takut menyelimuti diriku. Di Bali banyak cerita-cerita mistik yang cenderung menakutkan dan menakut-nakuti orang. Dan akhirnya dia berhenti disebuah bale-bale yang cukup besar dan dia dudk bersila disana. Akupun mengikutinya dan duduk disampinya.

“Seharusnya kau sudah menemukan yang kau cari, ehm..ehm..siapa namamu?”

Dehamannya berat sekali seperti suara orang yang sangat berwibawa.

“Tiyang Yanto, Mangku”

“Sebetulnya kau sudah menemukan apa yang kau cari Yanto”

“Aku tidak mengerti apa maksud Mangku, Mangku tidak mengenal saya dan begitu juga sebaliknya, tapi Mangku tahu apa yang saya cari, bagaimana bisa?”

“Tidak ada yang tidak bisa di dunia ini bila Sang Hyang Widhi menginginkannya, ikuti mimpimu dan teruskan perjalananmu”

Dan tanpa menunggu respon dariku Pemangku tua itu berdiri dan berjalan meninggalkan aku, jalannya sekarang cepat sekali, seperti melayang.

Siapa yang harus aku cari, orang tua dalam mimpiku, kalau memakai pemikiran Bambang jelas nggak mungkin karena dia adalah leluhurku, lalu gadis berpakaian putih itu…dimana aku bisa bertemu dengan dia, dan Pemangku itu bilang bahwa sebenarnya aku sudah menemukan apa yang aku cari, siapa dia. Pikiranku nggak karuan arahnya, dia melayang kemana-mana dan akhirnya aku tertidur karena lelah dengan pikiranku sendiri.

Lanjutkan ke bagian 4>>

Wayan dari Seberang (Bag 2)

Petualangan Wayan Putra

Mau mengeluh sampai kapan? Keluhanmu, pencarianmu justru menjauhkanmu dari Tuhan. Begitu sibuknya manusia mencari Tuhan, sampai Tuhanpun terlupakan. Padahal yang sedang dicari berada dalam rumah sendiri.

PULANG

Terminal Ubung masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Cuma bedanya jarang sekali orang bule terlihat sekarang, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya sekarang. Mungkin ini efek dari bom yang diledakan oleh orang2 gila yang menurutku sok ngerti tentang kebenaran, padahal apa sih artinya kebenaran? Sampai sekarang aku masih yakin bahwa aku belum ngerti tentang kebenaran yang absolut. Dan puji syukur kuliah akhirnya bisa kuselesaikan sebulan yang lalu, berkat bantuan beberapa dosen yang sudah mulai bosen melihatku di kampusku.

Semua tawaran dari calo, kernet dan sopir aku Cuma tanggapi dengan senyum dan kalimat “nggak pak, Suksma.” Dalam pikiranku Cuma ada sepiring Nasi Babi guling depan terminal yang Ayahku selalu mengajaku untuk makan disana setiap saat turun dari bis di terminal Ubung ini. Makanlah aku disana. Kali ini aku nggak nambah, aku mulai belajar untuk berhenti makan sebelum kenyang seperti petuah-petuah para PeDharma Wacana yang sering kudengar saat sembahyang bersama di Pura Girinatha di semarang.

Nikmat sekali babi guling ini, apalagi kulitnya yang agak keras tapi mudah patah dan kemripik kalau orang jawa bicara.

Bemo pertama yang kutemui setelah aku keluar dari warung ‘Be’ guling langsung kunaiki. Denpasar ngga banyak berubah secara fisik, sejak bom Bali Cuma jalannya yang tambah macet, sepeda motor tambah banyak, hanya sekarang jarang terlihat mobil-mobil model terbaru yang lewat, padahal dulu saat pariwisata sedang top-topnya mau cari mobil baru apapun di Bali ada. Jadi kesimpulannya bagus juga krisis pariwisata ini, jadi pembelajaran masyarakat diBali untuk berlatih tidak konsumtif.

Aku tinggal di rumah adik ayahku Bapa Roti namanya, seorang guru di sebuah SMP negri di Denpasar, dan karena istrinya adalah wanita yang kreatif, membantu ekonomi keluarga dengan cara berjualan pakaian dan kain di pasar Kumbasari Denpasar, secara ekonomi keluarga tersebut agak menonjol. Dan keluarga ini menurutku juga luar biasa, disaat krisis seperti ini mereka masih bisa bertahan dan cenderung sedikit meningkat. Saat kondisi Bali sepi dari wisatawan, suami istri ini tidak trus diam dan meratapi kondisi yang buruk itu. Tapi mereka bicarakan kesulitan-kesulitan tersebut bersama dengan anak-anaknya. Mereka memiliki dua anak laki-laki, Pasih dan Tukad. Yang mereka harapkan dari pemberian nama tersebut adalah agar anak-anak mereka bisa saling mengisi dan saling membantu dikemudian hari. Pasih artinya pantai dan Tukad artinya sungai. Terus terang saya kagum terhadap om saya yang satu ini, cara dia hidup dan berbicara benar-benar memperlihatkan seseorang yang sudah membaca ratusan buku (dan dimengerti serta dilakukan intisari terbaiknya). Nah..dalam pembicaraan tersebut Tukad yang bekerja sebagai seorang supervisor receptionist di hotel bintang lima di nusa dua punya ide untuk mencoba memasarkan kain-kain khas Bali ke luar negeri melalui relasi-relasi yang dia kenal (tamu-tamu hotel). Singkat cerita semua setuju, dan mereka gotong-royong bekerja dan mulai menyiapkan surat-surat penawaran dan brochure serta contoh kain yang akan dikirim keluar. Di dalam surat itu Tukad dengan lugasnya meminta tolong kepada tamu kenalannya untuk dibantu dalam menjual kai-kain tersebut. Dan perlu diketahui Tukad adalah seorang pemuda yang ‘sepengetahuanku’ tidak pernah mengeluh dan gampang sekali membantu seseorang biarpun dia nggak kenal, dan hasil akhirnya mereka dapat memulai export barang ke Sidney, Belanda, dan beberapa Negara di Eropa. Memang nilainya belum besar dan belum satu container penuh di setiap pengiriman, tapi bagiku hal tersebut sudah merupakan hal yang luar biasa, dengan cara yang sederhana ‘mau minta tolong’ bisnis antar Negara bisa terjadi.

‘Om swastiyastu’ sapaku ketika memasuki pintu gerbang rumahnya yang kecil khas Bali.

‘Eii..Wayan’ seru Bibiku dengan logat Balinya yang kental.’Mari..mari masuk, Meme meneruskan mebanten dulu ya, Tut, tolong buatin bli Wayan the panas’ serunya kepada salah seorang pembantunya.

Meme Made masih sama seperti biasanya, hangat, polos dan bersahaja dengan kain dan beju kebaya sederhana sebagai pakaian sehari-hari.

Teh panasku datang dan seperti biasa disertai jajan Uli dan Bantal, dan langsung kumakan kedua jajan itu dan nikmat sekali the hangatnya.

Lima menit sudah aku merebahkan tubuh di teras salah satu bangunan dirumah tersebut, Sanur memang selalu adem, dan gaya rumah Bali yang dibangun terpisah-pisah memang menurutku dirancang agar empunya dan tamu rumah tersebut betah untuk tinggal disana. Tapi apa daya, generasi sekarang pasti sulit sekali untuk bisa membagun rumah seperti ini, bagaimana bisa, mau ambil rumah perumnas dengan nyicil saja kesulitan.

‘Apa kabar Yan?’ seru Me Made sambil ikut duduk di lantai disebelahku, aku langsung bangun.

‘Baik Me, Me Made sekeluarga sendiri bagaimana?’

‘Baik, kami selalu baik, selama kita percaya, pasti Sang Hyang Widhi selalu beri yang terbaik untuk kita’

Jawaban dan Me Made ataupun suaminya selalu membuat hatiku nyaman, dan adem sekali mendengarnya. Religius, tapi tidak terdengar munafik karena aku bisa melihat keseharian mereka yang memang bersahaja, tenang dan tidak berlebihan.

‘Sana kamu istirahat dulu, mau mandi trus tidur dulu atau bagaimana terserah Wayan, yang jelas Me Made seneng banget dapat telpon dari ayahmu, dan kasih tahu bahwa kamu mau tinggal di Bali dan cari rejeki disini, kamarmu seperti biasa, dan handuk juga sudah Me Made sediakan disana.

Aku masuk kamar mandi, dan merebahkan tubuhkan di kasur yang terlihat mengundang, niatnya sih sebentar, tapi ternyata rasa capek tak bisa dibohongi, aku tertidur sampai hari sore.

Malamnya kami kumpul makan malam bersama, dua sepupuku sekarang terlihat lebih matang dari dua tahun yang lalu kita bertemu. Memang kesulitan akan mengakibatkan satu hal dari dua kemungkinan yang ada, pertama orang itu akan bertambah kuat dan matang karena dia mau bertempur dan tidak mau mengalah terhadap kesulitan itu, dan yang kedua orang tersebut akan semakin tenggelam karena dia mendalami atau istilah kerennya mempelajari kesulitan itu, sehingga semakin lama dia semakin stress karena semakin dalam kita memikirkan kesulitan itu, ya semakin kita sulit untuk mendapatkan jalan keluar. Maka lompatlah dari kolam kesulitan. Tukad seperti biasa terlihat tenang dan melayani kami semua, dan Pasih juga masih semangat sekali bicaranya meledak-ledak tapi punya rasa hormat, dan mata mereka memancarkan semangat hidup, menyatakan bahwa mereka punya harapan untuk sesutau yang lebih baik.

‘Yan, pacaramu orang jawa ya? Orang jawa khan cantik-cantik’ kata Pasih

‘Belum punya Sih’

‘Belum punya atau belum tahu mau pilih yang mana? Katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan yang lain ikut tertawa. Tidak salah ayahku memintaku untuk menjadikan rumah ini sebagai persinggahan pertama di Bali sebelum aku berkunjung ke rumah saudaraku yang lain. Makan malam itu berjalan dengan sangat hangat, kami saling bertukar cerita, dan akhirnya aku menjelaskan tentang tuuanku ke pulang ke Bali, dan mereka sangat senang, tapi mereka kaget setelah mendengarkan rencanaku bahwa aku akan keliling Bali naik sepeda dan mendaki gunung Agung sendirian dan mekemit di Besakih kira-kira dua hari lagi.

Yan, apa kamu yakin dengan rencanamu itu? Sudah pasti semua uwak disini tidak akan memperbolehkan kau melakukan hal itu, dan sudah pasti kau akan tetap pergi biarpun dilarang, seperti dulu saat bapakmu pergi ke Jawa, kata Bapa Roti sambil menghembuskan nafas panjang kegelisahan.

Kami semua diam, aku diam karena aku tidak akan melawan pamanku secara verbal.

Lalu Me Made angkat bicara, “apa yang kamu cari Yan?”

“Wayan hanya ingin belajar Me, nggak lebih”

“Kau sudah belajar dari sekolah, dan dari hidupmu sampai kau punya warung bakso”

“Itu nggak cukup Me, aku merasa ada hal lain yang akan dan harus aku ketahui”

“Tapi…..” belum Me Made meneruskan kalimatnya, Tukad menyela.

“Biarkan Wayan ngomong tentang apa yang dia mau Me”

Semua diam dan melihat ke aku, setelah sebentar melihat ke Tukad, dan aku menjadi sangat tegang sekali untuk mengutarakan apa yang benar-benar menjadi tujuanku, sebenarnya aku ke Bali bukan karena aku disuruh Ayahku, disuruh pergi kemanapun aku akan mau akrena aku akan mencari TUHAN disitu. 22 tahun umurku, tapi aku merasa belum mengenal Tuhan, aku ingin berkenalan denganNya. Selama ini aku Hindu dan ya tentu aku pergi ke Pura untuk sembahyang, tapi aku juga nggak pernah merasa canggung untuk masuk ke Masjid, Wihara, Gereja Klenteng atau tempat apa saja dimana manusia “katanya” bisa bertemu dan bicara dengan Tuhan. Ini tujuanku sekarang. Tapi aku mersa malu dan canggung untuk mengungkapkan hal itu kepada saudara2ku, sampai kemudian…”aku ingin belajar hidup Me”

“Yan, kau bicara seolah-olah kau sudah berumur hamper 40, dimana kebanyakan anak seumurmu masih sekolah belajar fisika, matemateka dan ekonomi, dan terus terang Bapa mersa senang dan sekaligus kawatir dengan apa yang engkau akan lakukan” kata Bapa Roti. “Tapi semua terserah kamu, dengan usiamu memang kamu harus mulai belajar untuk hidup sama seperti jaman ayah dan pamanmu dulu, anak sekarang banyak yang nggak ngerti diupnya itu harus seperti apa? Tapi kau sudah mulai tahu, pergilah dan mintalah pada kami apa yang bisa kami berikan untuk perjalananmu”

“Terima kasih Pa Roti”

“Rencana kamu mau keliling berapa hari Yan?” Tanya Pasih

“Nggak tahu Sih, aku merdeka, aku belum punya tanggungan, pacar saja aku belum punya, mungkin seminggu mungkin dua minggu, aku akan sms setiap hari untuk kasi tahu dimana posisiku”

“Yan, aku pengen ikut” kata Tukad

“Tapi aku ingin sendiri”

Semua tambah diam ketika aku menjawab seperti itu, dan makan malam yang hangat itu mulai berubah menjadi makan malam yang dingin. Dan aku tidur.

Orang tua itu tersenum kepadaku dan berbicara “Anak muda, kau lihat wanita yang sedang mengembalakan rusa di pinggir sungai itu? Dia juga sama seperti kau di sedang mencari, mungkin kau bisa bersama-sama dengannya dalam pencarian itu” Dan aku melihat seorang wanita dengan pakaian semua serba putih, wajahnya tenang, dan terlihat dia mencuci pakaian dengan tenang dan senang, dan dia menoleh sebentar ke arahku dan tersenyum.

Orang tua itu meneruskan pembicaraannya,”manusia memang harus mencari, karena saat mencari itulah menjadi saat yang penting baginya, tapi kau tidak boleh lupa untuk membagi karena disitulah bahagia itu ada”

Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun, aku takjub dengan orang tua itu, dan aku takjub dengan ketenangan wanita yang terus memberi makan rusa, sangat damai dan semua rusa itu terlihat sangat menghormatinya. Dan suara gesekan sapu lidi di luar kamarlah yang membangunkan aku dari mimpi yang damai itu. Mencari!...ya…memang aku harus mencari.

Lanjutkan ke bagian 3>>

Wayan dari Seberang (Bag 1)

“Nggak”. Katanya lemah (mungkin karena lapar, nggak punya uang buat beli makan)

Entah apa yang membuatku memutuskan untuk duduk disebelahnya dan memulai percakapan, aku tak tahu. Yang jelas setelah seperempat jam ngobrol sana- sini kuputuskan untuk mengajak dia makan dan bermalam di tempat kostku.

Saat tinggal di tempat kostku, Parman sangat rajin sekali, dia bangun pagi, nyapu, ngepel dll. Sehingga Ibu dan Bapak kost suka banget sama dia. Sampai nggak terasa sudah seminggu dia tinggal bersamaku, dan akhirnya Ibu kost meminta Parman untuk ikut bantu-bantu dia ngurusin pekerjaan rumah.

Satu tahun sudah aku tinggal sendiri, dan biarpun begitu aku tetap satu minggu sekali mengunjungi orang tuaku. Ibuku sering menasihati aku agar minta maaf kepada Bapak, tapi aku bilang, “Aku ngga merasa salah kok bu, lagipula seperti ibu lihat aku tetap bicara dengan bapak seperti biasa “

“Iya, tapi dalam hati ayahmu pasti sedih sekali dengan keadaan seperti ini”

“Nggak bu, mungkin memang sudah jalannya seperti ini, biarkan Yanto berjuang sendiri untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa Yanto bisa jadi orang’

“Terserah kamu lah Yan”

Memang, biarpun aku masih bicara dengan Bapaku, tapi pembicaraan sekarang terkesan formal banget, seolah masing-masing dri kita saling menjaga jarak agar tidak memulai sesuatu pembicaraan yang bisa menjadi konflik.

Malam itu, sabtu malam, aku ngobrol dengan Parman di teras depan rumah kost.

“Bli (biarpun di aku kelahiran Jawa, tapi aku biasa dipanggil dengan sebutan itu) kok nggak pergi atau berkunjung ke rumah pacar, malah bengong di rumah?”

“Nggak punya pacar Man.”

“Yo jelas nggak mungkin orang kayak Bli kok nggak punya pacar, apanya yang kurang? Sudah punya penghasilan sendiri, ganteng, gagah...”

“Nggak ngerti lah Man, lagi males aku punya pacar.”

“Ojo keterusen lho Bli”

“Man”

“Ya Bli”

“Kalau aku pengen kaya, kamu mau Bantu aku?

“Waduh Bli, kok tiba-tiba nanya aneh seperti itu? Tapi...ya jelas aku mau bantu, yang penting halal, dan jangan minta yang nggak-nggak seperti maling atau ngrampok.”

“Aku pengen jual bakso, tapi aku nggak punya waktu, pagi aku masih kuliah dan malamnya aku masih kerja”. Mengapa bakso? Mungkin karena aku terinpirasi orang Wonogiri yang jualan bakso dan sukses, yang sempat naik taxiku dan cerita sepanjang perjalanan dari Semarang ke Wonogiri tentang perjalanan susah dan senangnya jualan bakso.

“Wah..kalau itu saya mau sekali, Cuma saya ada satu permintaan Bli”

“Apa itu”

“Boleh nggak saya ajak teman saya Budi dari kampung untuk ikut bantu?”

“Boleh”

Singkat cerita kami mulai usaha warung bakso itu dengan mengontrak sebuah rumah kecil dari hasil uang tabunganku. Dan berkat usaha keras dari kami bertiga usaha itu terus berkembang sampai sekarang ini. Dari hanya punya 15 kusi menjadi sekarang 45 kursi.

Itulah sejarahku dan sejarah warung baksoku.

Malam ini Ibu memasak ikan asin dan lele bakar plus sambel matah Bali, satu-satunya masakan Bali yang bisa dimasaknya karena gampang. Dan semua itu tersedia dimeja dihadapan kami, langsung saja kami semua makan sampai mblenger. Lalu ayahku mulai membuka percakapan.

‘Wayan, apa rencanamu setelah ini?

‘Maksud Bapak, setelah ini yang apa?’ tanyaku bingung.’Maksudku ya, setelah kamu mulai melakukan apa yang kamu yakini, dan menurut Bapak kamu sudah menunjukan bahwa kamu mampu untuk mandiri.

Ibu dan adik-adiku semua mulai memperlambat kecepatan makannya, karena mereka merasa ada pembicaraan serius dimeja itu. (Bapak mengakui Bli Wayan bisa mandiri??!!!)

‘Terima kasih Pak, sudah memberikan kepercayaan kepada Wayan, Bapak sendiri pengennya Wayan bagaimana?’

‘Bapak susah ngomongnya karena, Bapak merasa kamu nggak mungkin dengerin omongan Bapak’

‘Wayan dengerin Pak, biarpun mungkin Wayan tidak bisa menururi semuanya’

Bapak diam dan terlihat mengumpulkan sisa-sisa kepercayaannya terhadapku.

“Bapak ingin kamu pulang ke Bali, dan kalau bisa kawin dengan anak Bali

Aku diam nggak ngomong apa-apa.

‘Terus terang Bapak kawatir sudah seumur ini, pacar yang serius kamu nggak punya, Bapak coba kenalin ke gadis-gadis Bali anak teman-teman Bapak kamu juga acuh saja’

“Belum ada yang sreg Pak, Wayan sudah tahu kalau Bapak pengen Wayan pindah ke Bali? Wayan nggak akan pernah melupakan, karena dari kecil Bapak selalu ingin pulang ke Bali dan menginginkan anaknya bisa hidup di Bali dan saat ini dia sudah merasa cukup dewasa seperti apa yang selalu ayahnya bicarakan ke dia”

Bapak terlihat agak terkejut mendengar jawabanku.

“Bapak nggak usah kawatir, Wayan akan segera selesaikan kuliah dan sudah menjadi keputusanku untuk kemudian pulang ke Bali”

“Lalu di Bali kamu mau kerja apa Yan? Ibuku sigap sekali bertanya, atau itulah naluri Ibu yang selalu mengkawatirkan tentang anaknya.

“Belum tahu Bu, yang jelas Wayan nggak ngerti nantinya bagaimana, karena sampai sekarang Wayan juga belum tau nantinya mau jadi seperti apa?”

Setelah itu makan malam berjalan seperti biasa, Cuma pikiranku yang melayang nggak tentu kemana.

lanjutkan ke bagian 2

Rabu, 16 Januari 2008

Wayan dari Seberang (Kerangka)

Pokok ide cerita : Perbedaan pemikiran antara generasi muda bali yang lahir di luar pulau Bali dengan orang Bali yang masih memegang teguh “adat Bali”

Kerangka cerita
Keluarga dari lakon (I Wayan Putra), ceritakan backgroundnya.
Karakter Wayan : Plegmatis, Koleris, tinggi 180cm, berat badan 70 kg. punya tato gambar naga melingkar di lengan dan dadanya, paling suka naik sepeda gunung, dan sepeda motor (Yamaha Scorpio), lahir di Semarang, hari Minggu, tgl. 20 October 1985. masih kuliah (hampir lulus) di fakultas sastra di Universitas Diponegoro dan udah jarang kuliah.punya bisnis kios bakso di depan rumahnya (hasil dari jualan baksonya sejak semester 4) dan suka mendaki gunung.

Ada 2 pilihan untuk mulai : ceritakan tentang impian Wayan atau mulai saat dia berlari menuruni gunung ungaran.


Cerita tentang lakon (Ida Ayu Kenanga), ceritakan tentang kehidupan sehari-harinya.
Karakter Dayu : Melankoli, koleris, tinggi 160cm, berat 55 kg. kemana-mana naik mobil (Honda Jazz), anak orang kaya, bapaknya Ida Bagus Raka (punya bisnis exporter kerajinan & tas) dan Ibunya Ida Ayu Ratmi sebagai Ibu rumah tangga asli Bali yang mengabdikan hidupnya untuk keluarga dan ritual agama Hindu di Bali. lahir di Denpasar hari Sabtu 19 Oktober 1985, sudah punya bisnis sendiri di bidang salon kecantikan dan sudah S1, lulusan Udayana fakultas ekonomi. Kesibukannya selain bisnis salon, membuka sekolah (gratis/murah) kecantikan untuk ibu2 PKK.

Aku bukan anak Bali, Aku orang Bali (Titik balik Wayan)
Renungan Wayan tentang siapa dirinya dan pencariannya tentang jati diri yang sebenarnya, dan tentang apa yang menjadi cita2nya. Kembali ke Bali!!! Dan menjadi dewasa di Bali!!!

Petualangan Wayan Putra
Cerita tentang perjalanan Wayan pulang kembali, kumpul dengan saudaranya, beradaptasi dengan saudara dan lingkungannya. Sebenarnya dia sudah sering pulang ke Bali paling tidak setahun sekali, tetapi ternyata itu nggak cukup baginya untuk tahu tentang Bali. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk naik sepeda keliling Bali, hanya untuk tahu tentang Bali. Kemudian memutuskan untuk jual bakso lagi di Bali (buka cabang) yang di Semarang diurusi oleh karyawannya.

Kehidupan Dayu Kenanga
Cerita tentang keseharian dayu yang teratur, bangun pagi bersih2, buat sarapan sendiri, mebanten dan kemudian berangkat kerja. Cermin orang Bali modern yang pengen praktis, banten/sesajinya beli di pasar. Keluarganya dihormati karena kastanya dan kesuksesan ekonominya. Dan juga tentang pencariannya sosok seorang calon suami yang dia inginkan, susah karena menurut keluarganya harus kasta yang sama dan ekonomi yang sama, semua itu karena pertimbangan adat. Dalam keseharian banyak mengalami konflik karena perbedaan visi antara dia dan orang tuanya dalam hal materi, orang tuanya ingin materi digunakan untuk rumah, pura, upacara adat dan ngaben dan tabungan yang banyak saat mati nanti. Sedangkan dia ingin sebagian digunakan untuk dinikmati (travelingdll.) dan juga untuk social (sekolah kecantikannya yang murah untuk Ibu2 PKK)

Arya pelukis dari Sanur
Seniman muda yang berbakat namun terjebak dalam imajinasi ganja yang sulit terlepaskan.

Steve si Petualang
Bule Australia yang Bengal, lari dari rumah dan tinggal di Bali karena pengen merdeka katanya. Kesehariannya jadi pelatih surfing di pantai kuta dan punya pacar Ni Ketut Mawar (sahabat Dayu)


Déjà vu (Pertemuan Wayan & Dayu)
Pertemuan yang diatur Langit, kejadian2 yang luar biasa dari mulai pertemuan di Bedugul yang Cuma saling pandang (saling cuek), kemudian diPura Jagad Natha saat upacara bulan Purnama saat diskusi. Sampai saat Dayu dilayani oleh seorang Wayan di warung baksonya.

Sepasang Naga Bali
Tentang persahabatan dan akhirnya kisah cinta Dayu dan Wayan yang berlanjut dengan pemberdayaan masyarakat Bali yang mau maju, mereka buat koperasi usaha kecil agar masyarakat Bali mau bikin tempe dan tahu dan bakso sendiri. Dengan dibantu oleh Steve dan Tut Mawar. Dan Dayu juga mulai sadar bahwa perjalannya dengan Wayan akan banyak halangan terutama dari keluarganya.

Induk Rajawali murka
Konflik antara Dayu dengan orang tua dan keluarga besarnya, dan dengan Wayan dan bagaimana dia mencari jalan keluar dengan pergi ke Jawa untuk kemudian tinggal di Yogya selama beberapa bulan untuk mencari tau/kontempelasi apakah keputusan yang akan dia ambil adalah yang paling tepat.

Langit hitam di Pantai Kuta (sebuah konflik di pantai Kuta)
Wayan terlibat perkelahian dengan kelompok di sebuah bar, yang melibatkan steve dan bertemu dengan sahabat baru yaitu Gung Raka (salah seorang keluaga Dayu) yang sebenarnya direncanakan akan menikah dengan Dayu. Terjadi percakapan antara dua orang laki2 yang memiliki adat yang berbeda tapi punya misi sama yaitu mengawini Dayu.

Kehidupan di bumi Jawa
Proses kehidupan Dayu tinggal di rumah seorang Jawa yang punya kepercayaan kejawen (mirip dengan Hindu kuno). Proses belajar dayu tentang apa itu kasta dan apa itu hidup bersama dengan keselarasan.

Keputusan
Dua Rajawali tidak harus selalu hidup berdampingan sebagai pasangan hidup, tapi dia bisa hidup sebagai sepasang pasukan yang berjuang untuk kehidupan, untuk kasih.

lanjutkan ke bagian pertama

Pancasila dan Aku

Aku memperlambat langkahku saat kudengar suara yang kecil tapi tegas dan keras “Pembacaan Pancasila oleh Pembina upacara!” dan aku menoleh ke halaman sekolah dasar di desa yang sedang aku lewati. Temboknya ada beberapa yang terkelupas sehingga terlihat batu bata kering keputihan didalamnya, lubang angin diatas temboknya terbuat dari anyaman besi atau ram-raman yang mulai berkarat, bersahaja, itu saja, karena gedung sekolah itu masih berdiri dan murid-muridnya berdiri tegap melihat kedepan ke arah Pembina upacara.
Seorang anak laki kurus dengan seragam pramuka yang kebesaran melangkah menuju Pembina upacara, dan menyerahkan map biru muda berisikan text Pancasila, lalu menempatkan dirinya disebelah kiri kepala sekolah yang menjadi Pembina upacara. Aku bilang kepala sekolah karena dia memang terlihat paling ‘berwibawa’ dibandingkan guru-guru yang lain. Lalu aku mulai mendengar”…Pancasila…satu, Ketuhanan yang maha Esa.” Aku semakin memperlambat langkahku, “dua..Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga..Persatuan Indonesia. Empat…Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Lima…Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..” setelah itu sayup-sayup kudengar rentetan acara dari upacara sekolah disenin pagi.
Aku memang sering lewat sekolahan itu saat aku lari pagi, tapi kebetulan pagi itu pas upacara, dan pas naskah Pancasila dibacakan. Dan yang terlintas dibenaku setelah aku mendengar Pancasila dibacakan adalah..kapan aku terakhir sembahyang? Apakah aku sudah cukup adil terhadap anak buahku di kantor, terhadap anak-anaku? Mengapa aku masih berpikir bahwa suku ini lebih hebat dari suku itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaanku sebagai akuntan publik. Kenapa aku masih menerima uang titipan dari perusahaan pemerintah atau swasta yang aku audit dan ada kesalahan-kesalahan kecil di administrasinya? Dan lain sebagainya.
Selama ini aku cuma berpikir bahwa aku sudah sukses, aku punya rumah bagus, mobil bagus, aku sehat dan olah raga cukup. Dan yang jelas terakhir aku mendengar Pancasila adalah saat aku masih kuliah kira-kira 18 tahun yang lalu. Dan aku merasa cukup humanis dengan selalu member uang kepada pengemis dan nyumbang ke panti asuhan atau bahkan nyumbang untuk pembangunan tempat ibadah. Hanya saja tiba –tiba aku merasa aku ini belum apa-apa dibanding dengan apa yang aku inginkan sebenarnya ketika aku masih kuliah dulu. Aku ingin jadi orang yang jujur, membangun Negara dan lain sebagainya. Aku dulu juga sering mendemo pejabat yang korupsi baik korupsi kecil maupun besar, bahakan lurah yang terima sogokan pembuatan KTP pun kita demo, kita ingin mewujudkan Negara yang jujur teriaku bareng teman-temanku dulu. Tapi sekarang aku menerima uang dari para pejabat yang aku audit.
Sialan! Pengen cari udara segar malah dapat pikiran kotor yang buat pusing. Pikirku. Dan aku berusaha menghilangkan bayangan itu dari otaku, tapi justru bayangan itu makin menyelimuti otaku.
Sedemikian kuatkah Pancasila itu? Pikirku, sampai aku dibuat pusing saat lari pagi seperti ini. Aku mulai membayangkan para “founding father” Negara ini saat merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara ini, bagaimana merkea berdebat, bagaimana mereka berjuang agar Pancasila ini bisa dipakai oleh semua rakyat Negara ini, dari sabang samoai merauke dari berbagai macam kepercayaan dan agama, dengan tujuan agar rakyat punya budi pekerti yang luhur dalam membangun Negara ini. Jiwaku bergemuruh, marah dengan kelakuanku selama ini, tapi aku mikir dari mana aku bisa memperbaiki semua ini?
Sampai dirumah, istriku sudah menyiapkan segelas susu di meja teras, dan anak-anak sudah berangkat sekolah. Biasanya aku langsung minum segelas susu itu, tapi kali ini tidak. “Ma, aku ingin bicara” istriku mengangguk dan duduk dikursi sebelah meja berseberangan denganku.
“Amplop yang kuberikan kemarin masih kau simpan?aku akan mengembalikan ke mereka.”
“Masih mas, mengapa ingin kau kembalikan? Khan kita bisa pakai untuk menyumbang pembangunan mesjid di kampong sebelah”
“Kembalikan saja Ma, untuk sumbangan ke mesjid bisa ambil dari tabungan kita”
Istriku yang sangat penurut hanya mengangguk dan tersenyum sambil melirik kearahku. “Ok mas”
Aku segera mandi, dan selesai mandi aku berdoa di dalam kamarku, aku tahu ini bukan saat orang Islam untuk berdoa, tapi aku ingin bicara dengan Tuhan.
“Tuhan, rasanya aku mulai kesulitan membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dulu waktu aku masih belia aku selalu yakin mana yang benar dan mana yang salah. Tapi kini batas itu terasa tipis sekali, atau mungkin aku yang menipiskan batas itu agar aku dapat menikmati kesenangan dunia ini. Batas yang kutipiskan adalah yang penting aku tidak merugikan orang lain dan Negara, karena aku khan hanya menerima amplop terima kasih, yang kalau tidak kuterima yang tetap saja dihabiskan oleh para pengusaha itu, jadi lebih baik kuterima sehingga dapat untuk memperbaiki kehidupan orang banyak yang kusumbang. Tapi aku ingin memperbaiki itu Tuhan, Cuma aku harus mulai dari mana? Untuk mengembalikan semua amplop tersebut pasti akan membuat heboh banyak pihak. Atau mulai hari ini saja Tuhan, dan aku pasti hanya menghebohkan diriku saja, dan uang tersebut tetap kuberikan ke pihak yang layak menerima, dan uang tabunganku tetap akan kusumbangkan kepada ihak yang layak menerima juga. Tuhan aku tidak tahu apakah tindakan yang kulakukan ini benar atau tidak, tapi aku mau berubah menjadi benar tanpa menyusahkan banyak pihak. Dan juga satu lagi Tuhan, terima kasih karena Kau telah kirimkan Pancasila yang sakti ini ke Republik tercinta ini, sehingga aku aku bisa berbicara kepadaMu dipagi seperti ini. Tuhan aku sangat merindukanMu dan aku sangat berbahagia sekali hari ini. Terima kasih Tuhan”
Dab akupun berangkat kerja setelah mencium kening istriku dan anaku yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan. Dan aku juga tidak memencet klakson mobilku saat lampu merah berubah menjadi hijau, dan akupun tidak membuang putung rokok dari dalam mobilku di jalan raya, dan aku juga tidak mengkritik pemerintah saat minum kopi bersama kolegaku. Aku putuskan bahwa semua mulai dari diriku.